Thursday, April 7, 2016

Gladys di Kota(razia)mobagu (5)

No comments

... Tak seperti hati kami yang seketika mendung. (Baca sebelumnya: Bagian 4)

***

Sore mulai menguning. Tapi suasana desa masih begitu ramai. Rumah-rumah warga penganut Hindu bising oleh tawa. Beberapa Ogoh-ogoh telah berbentuk raksasa. Mereka tinggal mewarnai dan memberi atribut-atribut pelengkap.

Gladys dan Lina tampak sibuk membantu merapikan gelas-gelas dan piring-piring yang bertebaran.

"Ayo, kita pamit pulang," ajak ibu Gladys. "Ayahmu nanti menyusul."

Perempuan-perempuan selalu lebih dulu pulang. Tugas mereka akan berlanjut di rumah. Tepat di persimpangan jalan, Lina pamit kepada Gladys dan ibunya.

"Aku ke rumah dulu," kata Lina. Dia sudah seharian bersama Gladys dan belum mengabari orangtuanya.

"Sampaikan maaf kepada orangtuamu, Lin. Seharian aku memaksamu menjadi pengawal," kelakar Gladys itu, mengundang tinju pelan dari Lina.

Di perjalanan pulang, ibunya menemukan kegelisahan di mata Gladys. Ibunya coba menggali dengan basa-basi.

"Bagaimana kuliahmu?"

"Berharap cepat selesai."

"Selama ini, kau belum pernah menyatakan pilihan pekerjaan jika nanti tamat kuliah."

Kegelisahan Gladys, seperti terbaca dan diberi retakan oleh ibunya. Dari retakan itu, ibunya berharap kegelisahan Gladys bisa mengalir keluar. Perempuan memang lihai dalam soal kepekaan. Terlebih itu adalah anaknya sendiri.

"Aku ingin jadi wartawan," ucapannya begitu pelan namun tegas. Langkah ibunya tertahan.

"Alasanmu?" Dari sorot mata ibunya, Gladys menemu sorot yang sama di mata Lina, ketika mereka membicarakan soal keputusannya untuk menjadi wartawan.

"Aku suka menulis. Lagipula fakultas yang aku ambil tidak bakal menyulitkan nanti." Gladys coba meyakinkan ibunya.

"Kau kan, kuliahnya di fakultas hukum?" tanya ibunya.

"Wartawan dengan basis ilmu hukum, malah lebih paham dengan aturan-aturan," jawab Gladys.

"Ibu tidak mempermasalahkan pilihanmu. Tapi bagaimana caramu meyakinkan ayahmu?" Langkah ibunya kembali menjejaki jalan. Gladys mengikutinya.

"Ibu mungkin bisa membantu Gladys."

Ucapan Gladys, ditanggapi ibunya dengan diam. Selama perjalanan menuju rumah, hanya terdengar suara kerikil yang tergilas sendal. Ibunya memang berharap lebih dari sekadar menjadi seorang wartawan. Impian setiap orangtua pasti selalu yang terbaik untuk anaknya. Dengan berharap agar Gladys kelak bisa menjadi jaksa, pengacara, atau hakim. Gladys adalah putri satu-satunya. Dan untuk melanjutkan pendidikan, bukanlah suatu kesulitan bagi orangtuanya.

***

Berbotol-botol bir yang telah kosong menghuni kardus. Masih ada tiga botol yang tertutup rapat, dan satu botol setengah isi di atas meja. Sementara gelas penuh di genggaman Indra, buihnya meluncur di dinding gelas. Mata Indra merah. Ada amarah di sana.

"Jadi, kalian tetap ingin memuat beritanya?" suara Indra meninggi.

Rumah Deni kebetulan sepi. Orangtuanya sedang ke rumah kakaknya di luar kota. Rumah-rumah tetangga juga jaraknya berpuluh-puluh meter. Kediaman Deni memang serupa vila yang menyendiri.

"Indra, kami menemanimu minum, karena ingin membicarakan persoalan ini dengan lebih jujur," kata Umar coba menenangkan.

"Kalian tahu! Media kita ini... Pamanku juga donaturnya!"

Ucapan Indra kali ini membikin hening. Langit yang mulai gelap, mengubah deretan botol di atas meja menjadi siluet. Mereka masih terdiam dipayungi rindang dedaunan yang berdesir tertiup angin.

"Aku menyalakan lampu di rumah dulu. Hari mulai gelap," sela Deni.

Hanya sekejap, Deni kembali sambil membawa laptop. Aku memandangnya heran. Entah apa maksudnya membawa laptop kemari. Deni meletakkan laptop di atas meja lalu menyalakannya. Botol-botol bir tampak berkilauan disinari nyala layar. Sebatang modem dicolok. Seketika, tubuh www.koyow.com berdiri di sana. Tepat ke arah Indra.

"Indra. Ketika kita rembuk mendirikan media ini, satu hal yang pernah kita sepakati dulu masih berlaku. Untuk membenci pertengkaran karena uang," ucap Deni pelan.

"Dan kali ini... Meski masalah yang menjadi tengkar kita berbeda. Tapi ini juga soal uang." Deni semakin serius dengan perkataannya.

"Den, aku hanya coba..." Indra menyela.

Belum usai Indra dengan kalimatnya, Deni menyela, "Kenapa kau tidak jujur?"

"Aku hanya ingin agar media kita bisa menjadi besar. Kantor saja kita belum punya. Aku berharap uang dari donatur-donatur kita, bisa dipakai menyewa tempat untuk dijadikan kantor," jelas Indra.

"Aku menerima maksud baikmu. Tapi ketidakjujuranmu itu!"

"Den, berapa orang sih, yang mau mendanai media kita ini? Dan pamanku satu dari lima orang yang dengan sukarela melakukan itu!"

"Sebenarnya masalahnya sederhana. Kita hanya mencoret nama pamanmu dari daftar donatur. Itu saja," Umar tiba-tiba menyela.

"Lalu tetap memberitakan kasusnya?" ucapan Indra kembali meninggi.

"Kesepakatan kita membuat media ini, adalah memberitakan tanpa memandang siapapun. Tagline itu terpampang jelas!" Deni kali ini menunjuk sebaris slogan di layar laptop.

Saya yang sedari tadi diam, akhirnya memilih mencebur ke dalam arus yang semakin deras itu.

"Indra, kasus pamanmu itu adalah soal uang rakyat. Dan satu-satunya bos kita adalah warga. Jalan pesan yang independen," saya menukil slogan media kami di akhir kalimat. Slogan yang bermakna bahwa jurnalis adalah tempat warga menitip pesan untuk mengawasi penguasa. Koyow yang kami pilih menjadi nama media, sesuai dengan bahasa daerah kami yang artinya... Pesan.

Indra menutup matanya. Kemudian, sekali teguk, gelas yang sedari tadi di genggamannya menyisa buih. Dia beranjak dari duduk.

"Aku mundur dari media ini!"

Langkahnya begitu cepat. Meninggalkan kami yang saling bertukar pandang. Lama baru terdengar suara mobil dihidupkan. Selang beberapa menit, lampu mobil menyala. Sorot lampunya tepat mengarah pada kami. Indra seperti ingin memastikan, adakah sesal di wajah kami. Mobil memutar, lalu pergi menembus malam.

***

Seminggu sudah Gladys menghabiskan waktu di desanya. Ogoh-ogoh telah diarak keliling. Sepi juga telah membungkam seisi desa. Sekaligus melarung gelisah di hatinya.

Di punggung Gladys telah menggantung ransel. Lina yang lebih dahulu menunggu di dalam mikrolet, menyambut Gladys dengan senyuman.

"Tumben, wajahmu kelihatan bahagia meninggalkan desa ini?" tanya Lina.

"Ah, desa ini hanya sejengkal saja dari kota. Kenapa harus sedih?"

"Iya, tapi biasanya kau sedih."

"Ada hal yang membuatku bahagia," kata Gladys. Senyum melengkung di wajahnya.

"Memangnya kenapa?"

"Ayah, akhirnya mengalah. Dia tidak mempermasalahkan impianku untuk menjadi... Seorang jurnalis!"

"Kau sudah bilang ke ayah dan ibumu?"

"Selain teror di Kota... Razia... Mobagu... Dan juga Ogoh-ogoh. Niat aku pulang, ingin menyampaikan hal itu pada ayah dan ibu." Senyum Gladys bertambah lebar. Menjadi seorang jurnalis, sepertinya dia sudah tidak sabar.

"Aku sepertinya menjaring alasan yang satunya lagi, kenapa kau kelihatan begitu bahagia," perkataan Lina, seketika merubah senyum Gladys menjadi jungur.

"Apa?"
Sore mulai menguning. Tapi suasana desa masih begitu ramai. Rumah-rumah warga penganut Hindu bising oleh tawa. Beberapa Ogoh-ogoh telah berbentuk raksasa. Mereka tinggal mewarnai dan memberi atribut-atribut pelengkap. 

Gladys dan Lina tampak sibuk membantu merapikan gelas-gelas dan piring-piring yang bertebaran. 

"Ayo, kita pamit pulang," ajak ibu Gladys. "Ayahmu nanti menyusul." 

Perempuan-perempuan selalu lebih dulu pulang. Tugas mereka akan berlanjut di rumah. Tepat di persimpangan jalan, Lina pamit kepada Gladys dan ibunya. 

"Aku ke rumah dulu," kata Lina. Dia sudah seharian bersama Gladys dan belum mengabari orangtuanya. 

"Sampaikan maaf kepada orangtuamu, Lin. Seharian aku memaksamu menjadi pengawal," kelakar Gladys itu, mengundang tinju pelan dari Lina. 

Di perjalanan pulang, ibunya menemukan kegelisahan di mata Gladys. Ibunya coba menggali dengan basa-basi. 

"Bagaimana kuliahmu?" 

"Berharap cepat selesai." 

"Selama ini, kau belum pernah menyatakan pilihan pekerjaan jika nanti tamat kuliah." 

Kegelisahan Gladys, seperti terbaca dan diberi retakan oleh ibunya. Dari retakan itu, ibunya berharap kegelisahan Gladys bisa mengalir keluar. Perempuan memang lihai dalam soal kepekaan. Terlebih itu adalah anaknya sendiri. 

"Aku ingin jadi wartawan," ucapannya begitu pelan namun tegas. Langkah ibunya tertahan. 

"Alasanmu?" Dari sorot mata ibunya, Gladys menemu sorot yang sama di mata Lina, ketika mereka membicarakan soal keputusannya untuk menjadi wartawan. 

"Aku suka menulis. Lagipula fakultas yang aku ambil tidak bakal menyulitkan nanti." Gladys coba meyakinkan ibunya. 

"Kau kan, kuliahnya di fakultas hukum?" tanya ibunya. 

"Wartawan dengan basis ilmu hukum, malah lebih paham dengan aturan-aturan," jawab Gladys. 

"Ibu tidak mempermasalahkan pilihanmu. Tapi bagaimana caramu meyakinkan ayahmu?" Langkah ibunya kembali menjejaki jalan. Gladys mengikutinya.

"Ibu mungkin bisa membantu Gladys." 

Ucapan Gladys, ditanggapi ibunya dengan diam. Selama perjalanan menuju rumah, hanya terdengar suara kerikil yang tergilas sendal. Ibunya memang berharap lebih dari sekadar menjadi seorang wartawan. Impian setiap orangtua pasti selalu yang terbaik untuk anaknya. Dengan berharap agar Gladys kelak bisa menjadi jaksa, pengacara, atau hakim. Gladys adalah putri satu-satunya. Dan untuk melanjutkan pendidikan, bukanlah suatu kesulitan bagi orangtuanya. 

*** 

Berbotol-botol bir yang telah kosong menghuni kardus. Masih ada tiga botol yang tertutup rapat, dan satu botol setengah isi di atas meja. Sementara gelas penuh di genggaman Indra, buihnya meluncur di dinding gelas. Mata Indra merah. Ada amarah di sana. 

"Jadi, kalian tetap ingin memuat beritanya?" suara Indra meninggi. 

Rumah Deni kebetulan sepi. Orangtuanya sedang ke rumah kakaknya di luar kota. Rumah-rumah tetangga juga jaraknya berpuluh-puluh meter. Kediaman Deni memang serupa vila yang menyendiri. 

"Indra, kami menemanimu minum, karena ingin membicarakan persoalan ini dengan lebih jujur," kata Umar coba menenangkan. 

"Kalian tahu! Media kita ini... Pamanku juga donaturnya!" 

Ucapan Indra kali ini membikin hening. Langit yang mulai gelap, mengubah deretan botol di atas meja menjadi siluet. Mereka masih terdiam dipayungi rindang dedaunan yang berdesir tertiup angin.  

"Aku menyalakan lampu di rumah dulu. Hari mulai gelap," sela Deni.

Hanya sekejap, Deni kembali sambil membawa laptop. Aku memandangnya heran. Entah apa maksudnya membawa laptop kemari. Deni meletakkan laptop di atas meja lalu menyalakannya. Botol-botol bir tampak berkilauan disinari nyala layar. Sebatang modem dicolok. Seketika, tubuh www.koyow.com berdiri di sana. Tepat ke arah Indra. 

"Indra. Ketika kita rembuk mendirikan media ini, satu hal yang pernah kita sepakati dulu masih berlaku. Untuk membenci pertengkaran karena uang," ucap Deni pelan. 

"Dan kali ini... Meski masalah yang menjadi tengkar kita berbeda. Tapi ini juga soal uang." Deni semakin serius dengan perkataannya.

"Den, aku hanya coba..." Indra menyela.

Belum usai Indra dengan kalimatnya, Deni menyela, "Kenapa kau tidak jujur?"

"Aku hanya ingin agar media kita bisa menjadi besar. Kantor saja kita belum punya. Aku berharap uang dari donatur-donatur kita, bisa dipakai menyewa tempat untuk dijadikan kantor," jelas Indra. 

"Aku menerima maksud baikmu. Tapi ketidakjujuranmu itu!" 

"Den, berapa orang sih, yang mau mendanai media kita ini? Dan pamanku satu dari lima orang yang dengan sukarela melakukan itu!" 

"Sebenarnya masalahnya sederhana. Kita hanya mencoret nama pamanmu dari daftar donatur. Itu saja," Umar tiba-tiba menyela. 

"Lalu tetap memberitakan kasusnya?" ucapan Indra kembali meninggi. 

"Kesepakatan kita membuat media ini, adalah memberitakan tanpa memandang siapapun. Tagline itu terpampang jelas!" Deni kali ini menunjuk sebaris slogan di layar laptop.

Saya yang sedari tadi diam, akhirnya memilih mencebur ke dalam arus yang semakin deras itu. 

"Indra, kasus pamanmu itu adalah soal uang rakyat. Dan satu-satunya bos kita adalah warga. Jalan pesan yang independen," saya menukil slogan media kami di akhir kalimat. Slogan yang bermakna bahwa jurnalis adalah tempat warga menitip pesan untuk mengawasi penguasa. Koyow yang kami pilih menjadi nama media, sesuai dengan bahasa daerah kami yang artinya... Pesan. 

Indra menutup matanya. Kemudian, sekali teguk, gelas yang sedari tadi di genggamannya menyisa buih. Dia beranjak dari duduk. 

"Aku mundur dari media ini!" 

Langkahnya begitu cepat. Meninggalkan kami yang saling bertukar pandang. Lama baru terdengar suara mobil dihidupkan. Selang beberapa menit, lampu mobil menyala. Sorot lampunya tepat mengarah pada kami. Indra seperti ingin memastikan, adakah sesal di wajah kami. Mobil memutar, lalu pergi menembus malam. 

*** 

Seminggu sudah Gladys menghabiskan waktu di desanya. Ogoh-ogoh telah diarak keliling. Sepi juga telah membungkam seisi desa. Sekaligus melarung gelisah di hatinya. 

Di punggung Gladys telah menggantung ransel. Lina yang lebih dahulu menunggu di dalam mikrolet, menyambut Gladys dengan senyuman. 

"Tumben, wajahmu kelihatan bahagia meninggalkan desa ini?" tanya Lina. 

"Ah, desa ini hanya sejengkal saja dari kota. Kenapa harus sedih?" 

"Iya, tapi biasanya kau sedih." 

"Ada hal yang membuatku bahagia," kata Gladys. Senyum melengkung di wajahnya. 

"Memangnya kenapa?" 

"Ayah, akhirnya mengalah. Dia tidak mempermasalahkan impianku untuk menjadi... Seorang jurnalis!" 

"Kau sudah bilang ke ayah dan ibumu?" 

"Selain teror di Kota... Razia... Mobagu... Dan juga Ogoh-ogoh. Niat aku pulang, ingin menyampaikan hal itu pada ayah dan ibu." Senyum Gladys bertambah lebar. Menjadi seorang jurnalis, sepertinya dia sudah tidak sabar. 

"Aku sepertinya menjaring alasan yang satunya lagi, kenapa kau kelihatan begitu bahagia," perkataan Lina, seketika merubah senyum Gladys menjadi jungur. 

"Apa?" 

(Bersambung)

No comments :

Post a Comment