Tuesday, October 24, 2017

Braga dan Jeda yang Terlalu Lama

No comments

Kotamobagu, kota mungil sekali kitar, pasti kelar. Jika pulang ke Desa Passi, malam-malam panjang lebih banyak saya habiskan di kota yang hanya berjarak sebatang rokok pupus, dari desa saya.

Beberapa bulan lalu, saya dikabari seorang karib, ada acara literasi dan musik di Kedai Kampung Bogani, di Kotamobagu. Kami diminta tampil di acara bertajuk Literasik itu.

Setelah latihan selama beberapa jam saja, kami bersiap menuju kedai. Saat memasuki pelataran kedai, saya ditemui seorang pria dengan logat kental dari dataran tinggi Kecamatan Modayag.

"Sigidad, kang?"

"Oh, iyo, ini Vicky to?"

"Iyo."

Pria bernama Vicky itu lantas menganjurkan saya untuk segera mendaftarkan nama band ke panitia. Saya memberitahunya, jika nama band kami yang inalillahi kerennya itu, sudah terdaftar. Siapa yang tidak kenal Saung Layung Arus Balik (SLAB), band indie teraneh di Bolaang Mongondow, yang hanya terbentur, eh, terbentuk, dan tampil setahun sekali, lalu bubar lagi itu?

Literasik malam itu berlangsung syahdu. Kami tampil dengan segala kekurangan dan kelebihan, yang sebetulnya lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Maksud saya, kelebihan gugup.

SLAB membawakan musikalisasi Derai-Derai Cemara dari versi Banda Neira, yang kami improvisasi menjadi persembahan yang tiada tara jeleknya.

"Eh, bagus ngoni tadi no," kata salah satu kawan.

Testimoninya, kendati sudah sering kami dengar setiap tampil, malam itu cukup membuat dada saya mekar seketika, sebelum terkatup dan layu setelah menyaksikan hasil rekaman video. Bangsat! Kaki saya terlalu banyak gerak, pertanda gugup, dan beberapa kali suara saya sumbang.

Siapa yang tak malu, sebab malam itu, ada band indie lokal yang benar-benar band, sedang mengisi jeda acara. Namanya mengingatkan saya ketika masa krisis pangan, selama tinggal di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo. Saking sekaratnya, kami terpaksa hanya makan mangga seharian yang pohonnya tumbuh lebat tepat di depan sekretariat. Nama band itu, Beranda Rumah Mangga, atau disusutkan menjadi Braga.

Suara vokalisnya teduh. Iringan musiknya merdu. Ditambah suara dua yang mendayu-dayu. Dibandingkan SLAB, tentu Braga adalah Ungu, dan kami Pasha, eh, maksudnya payah.

Saya yang baru sekali melihat penampilan mereka, segera gugling di yucup. Benar sudah, ada klip video mereka dengan lagu berjudul "Di Kedai Ini". Saya mendengarkannya. Apik.

Lagu "Di Kedai Ini", berlatar kedai yang sedang kami tempati saat itu. Berkisah tentang seorang gadis yang menanti kekasihnya, yang bedebahnya tak kunjung datang.

Vicky, gitaris sekaligus pencipta lagu, sebelumnya memang saya kenal dari pertemanan pesbuk. Saya malah penggemar film-film pendeknya. Belakangan, saya baru tahu kalau mereka juga punya band. Jelas saja SLAB merasa tersaingi.

Selanjutnya, setelah malam itu, lagu "Di Kedai Ini" saya donlot dari yucup. Berkali-kali saya dengarkan jelang tidur. Sayangnya lagu itu tidak bisa menjadi lullaby atau pengantar tidur. Soalnya saya sering kepikiran kopi. Iya, saya jika minum kopi pada malam hari, bawaannya jadi susah tidur.

Setelah beberapa bulan kemudian, saya kembali ke Gorontalo. Pekan lalu, Braga kembali merilis single kedua berjudul "Patah Menjadi Air Mata". Saya menontonnya di yucup, dan seketika suka dengan lagu itu. Liriknya puitis dan sarat makna mistis, eh, filosofis.

Lagu itu seperti diceritakan Vicky, terinspirasi dari sebatang pohon di sekitar Danau Tondok. Pohon kering itu, diibaratkannya sebagai petapa tua. Kira-kira begitu yang saya bacai dari hasil curhatannya, sepanjang tiga edisi di Tribun Manado online.

Saya sebenarnya merasa kesal kali pertama membaca curhatannya itu. Kesal sebab tulisan itu menggantung, dan harus menunggu edisi lanjutan. Seperti sedang menunggu apdetan Game of Thrones saja.

Saya pikir, ada jeda terlalu lama dalam tulisan yang superkeren itu. Padahal seharusnya bisa dijadikan satu tulisan utuh, sebab catatannya juga tidak panjang-panjang amat. Payah betul Tribunnya. Mau ngejar klik?

Dari tulisan yang berjeda itu, saya membacai ada jarak cipta yang terlalu jauh dari lagu satu ke lagu berikutnya. Tahun bukan waktu yang pendek. Saya kira, Braga, kendati di tengah kesibukan pekerjaan masing-masing personel, harus banyak meluangkan waktu, agar satu album bisa tercipta. Sialan, masak hanya dua lagu saja. Tambah dong!

Namun, laiknya sebuah karya memang butuh proses. Saya lebih menghargai karya yang memakan waktu lama, sebab tentu saja karya tersebut dibalut kontemplasi yang dalam. Itu mungkin jadi alasan kenapa saya menyukai lagu dari Braga.

Saya, juga tidak terlalu suka dengan karya yang instan. Semisal puisi, yang bisa diproduksi puluhan dalam sepekan. Atau, puisi-puisi yang diminta dibuatkan. Bagi saya, puisi lahir dari salah satu sudut ruang imajinasi, yang mana butuh kedalaman renung untuk bisa menemuinya. Begitu pun lirik lagu.

Entahlah, masing-masing orang punya penilaian, bukan?

Saya tunggu lagu berikutnya dari Braga. Mungkin tahun depan, tak mengapa. Asal jangan ada lagi mangga di antara kita.

Monday, October 16, 2017

Pulitzer

No comments

Suatu hari di tahun 1868, hanya sehari setelah diterima sebagai wartawan di koran Westliche Post, Joseph Pulitzer membuat heboh warga St. Louis, Missouri. Setengah kolom berita kasus pencurian di toko buku Roslein yang ditulisnya di koran itu,  berbeda dengan berita-berita tentang kasus yang sama yang dimuat oleh koran-koran lain. Para redakturnya memarahinya. Mereka menganggap Pulitzer merusak reputasi Westliche Post.

Di koran-koran lain, para wartawan menulis, pencuri di toko Roslein adalah sesosok laki-laki berpostur jangkung, rambut pirang, dan di pelipisnya ada tanda cacat. Berita itu ditulis berdasarkan keterangan dari Peters, koordinator wartawan di kepolisian, yang dipercaya oleh polisi dan para wartawan, untuk menyampaikan semua keterangan polisi.

Lewat beberapa jam setelah kasus pencurian itu diselidiki oleh polisi, seorang opsir memang telah berbicara kepada Peters: Pencuri di toko Roslein, berdasarkan keterangan saksi-saksi, adalah seorang laki-laki yang pada tengah malam terlihat mondar-mandir di depan toko dengan ciri-ciri tinggi, rambut blondi dan ada codet di pelipisnya. Peters lalu menyampaikan semua keterangan polisi itu kepada rekan-rekannya, para wartawan yang tidak punya atau tidak bisa mengakses keterangan polisi. Dan keesokannya, keterangan Peters yang mengutip keterangan polisi, menjadi berita di seluruh koran yang terbit St. Louis kecuali di Westliche Post.

Di koran itu, Pulitzer menulis dengan yakin dan terang: Pencurinya adalah asisten toko bernama John Eggers yang sudah meninggalkan St. Louis dengan menumpang kereta api pagi. Orang itulah yang bertugas membuka dan mengunci pintu toko, dan juga tahu nomor kode lemari besi tempat uang hasil penjualan buku disimpan. Tapi gara-gara beritanya berbeda dengan berita-berita dari koran lain, para redaktur Pulitzer marah besar. Mereka menuding Pulitzer telah menghancurkan nama besar Westliche Post. “Pembaca menertawakan koran kita,” kata seorang redaktur, “Karena berita yang kamu tulis berbeda dengan berita-berita di koran lain.”

Dia mengadukan Pulitzer ke redaktur pelaksana, dan sama dengan redaktur yang marah kepada Puliutzer, redatur pelaksana  itu juga menganggap Pulitzer telah membuat kesalahan fatal. “Kenapa bisa sampai begini?” dia bertanya kepada Pulitzer.

Pulitzer berusaha menjawab tapi seseorang kemudian menyela. Orang itu menjelaskan kepada redaktur dan redaktur pelaksana yang memarahi Pulitzer bahwa yang ditulis oleh Pulitzer adalah berita yang benar. “Baru saja saya bertemu dengan Pak Roslein. Dia menceritakan, polisi telah menangkap pencuri di tokonya dan pencurinya juga sudah mengaku. Namanya John Eggers, asisten dan kasir di toko Pak Roslein.”

Para redaktur Pulitzer terperangah. Mereka tak bisa lagi membantah berita yang ditulis oleh Pulitzer. Berita kasus pencurian di toko Roselin yang isinya berbeda dengan berita-berita di koran-koran lain pada hari itu, dan oleh mereka telanjur dianggap merusak reputasi Westliche Post, ternyata adalah berita yang memang “berbeda”. Dari mana Pulitzer mendapat bahan-bahan berita itu?

Hanya beberapa jam pada hari Pulitzer diterima sebagai wartawan di Westliche Post, redakturnya yang belakangan memarahinya, memberinya penugasan. Dia ingin menguji Pulitzer, anak muda berusia 21 tahun, kurus, jangkung, yang dinilainya kaku dan bodoh; untuk mencari berita dan berita itu adalah kasus pencurian di toko buku Roslein yang terjadi pada malam sebelumnya. Dia berpesan kepada Pulitzer: “Kamu pergi ke toko itu tapi tak usah cari berita sendiri. Kamu tidak akan bisa. Hubungi saja Peters. Dia yang akan memberikan keterangan padamu.”

Pulitzer mendatangi toko Roslein, dan di luar toko itu, dia mendapati semua wartawan telah menunggu Peters yang terlihat sedang berbicara dengan opsir di dalam toko. Saat Peters keluar dari toko, para wartawan lantas mengerubunginya. Dari mulut Peters kemudian meluncur keterangan tentang ciri-ciri pencuri di toko buku Roslein berdasarkan keterangan polisi.

Konon lagi bertanya alasan polisi mencurigai lelaki dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Peters, para wartawan itu malah menelan semua keterangan Peters, dan hal itu membuat Pulitzer terheran-heran. Mereka para wartawan, tapi hanya mencatat semua keterangan tanpa bertanya satu patah pun kendati keterangan Peters banyak yang belum jelas dan memang tidak jelas.

Pulitzer karena itu memberanikan untuk bertanya kepada Peters: Mengapa polisi mencurigai orang dengan ciri-ciri yang disebutkan itu? Dan Peters yang baru kali pertama melihat Pulitzer malah kebingungan menjawab. “Iya ya, mengapa... Tapi kamu pergilah ke opsir itu senyampang dia masih berada di toko. Tanyakanlah sendiri.”

Pulitzer, wartawan baru itu, bergerak masuk ke toko Roslein. Dia mengenalkan diri dan menerangkan identitasnya tapi polisi yang menyelidiki pencurian itu menghardiknya. “Semua keterangan sudah ada pada Peters. Tanya sama dia. Jelas? Sekarang kamu keluar.”

Roslein yang juga berada di dalam toko segera tertarik dengan keberanian Pulitzer. Dia meminta kepada opsir agar memberi kesempatan Pulitzer untuk bertanya, dan polisi itu tak punya pilihan. Sinis dia bertanya kepada Pulitzer tentang yang hendak ditanyakan. Pulitzer tak membuang kesempatan. Dia bertanya dengan pertanyaan menohok: Siapa yang bertugas membuka dan mengunci pintu toko setiap hari?

Polisi tak bisa menjawab tapi Pak Roslein membantunya. Dia menjelaskan, yang membuka dan mengunci pintu toko adalah John Eggers, pembantu di tokonya.

“Tuan Roslein, kenapa Anda tidak menjelaskan bahwa Anda punya asisten?” tanya polisi.
“Maaf opsir, saya kira keterangan tentang John tidak penting,” jawab Roslein, ”Lagi pula, hari ini dia meminta izin tak masuk kerja karena sakit.”
“Tidak. Seharusnya Anda menjelaskan tentang John. Ini fakta yang hilang. Dan apakah John tahu nomor kode peti besi toko Anda?”
“Saya memberitahunya. Dia merangkap kasir di toko ini. Orangnya jujur.”

Polisi terkejut mendengar penjelasan Pak Roslein. Dia lantas menjelaskan, sebelum datang ke toko Roslein, telah melihat John naik kereta api pagi ke arah barat. Dia yakin pencuri di toko Roslein adalah John. Tidak salah lagi.

Pulitzer menyimak semua percakapan polisi dan Roslein. Tapi sementara keduanya terus terlibat tanya-jawab, dia segera keluar dari toko dan bergegas menuju stasiun. Di sana Pulitzer menanyai sejumlah orang tentang John. “Barangkali Anda melihatnya tadi. Orangnya seperti ini, seperti itu.”

Kepada Pulitzer, beberapa orang mengaku memang melihat John berdasarkan ciri-ciri yang disebut oleh Pulitzer, telah naik kereta api pagi. Pulitzer mencatat semua kesaksian mereka, dan setiba di kantornya, dia segera menulis semua temuannya menjadi berita setengah kolom. Berita itulah yang keesokannya membuat heboh warga St. Louis karena isinya berbeda dengan isi berita koran-koran lain.

Mengapa Pulitzer menulis berita berbeda?  Kepada redakturnya dia menjelaskan, dia tidak puas dengan keterangan Petters dan keterangan polisi, yang banyak tidak jelas, dan dia benar.

Bagi wartawan, keterangan sumber seharusnya memang tak hanya disikapi dengan hati-hati, melainkan harus pula disikapi dengan kritis dan skepstis. Tidak dipercaya. Hanya dengan sikap semacam itulah, berita yang ditulis oleh wartawan akan punya nilai meskipun berita itu mungkin akan berbeda dengan yang ditulis oleh wartawan lain.

Anda tahu bukan siapa Pulitzer itu?

Benar, dia wartawan. Bukan juru propaganda pemilu. Bukan humas aparat dan para politisi. Bukan corong suara kekuasaan dan kepentingan. Hanya seorang wartawan, yang reputasi dan keterkenalan namanya tentu saja melampaui nama Anda dan nama saya.

Oleh Rusdi Mathari (Cak Rusdi)

[Cuplikan bebas dari “Joseph Pulitzer Front Page Pioneer”, salah satu bahan cerita untuk kelas menulis Mojok di Yogyakarta]

*Dari dinding Facebook Cak Rusdi, 1 Oktober 2016*

Sunday, October 15, 2017

Pembatas Buku

No comments

Aku meloncat halaman demi halaman. Dalam gelap buku terkatup. Kedua sisi menindih, atau mungkin merangkul. Aku hanya meraba dalam pengap.

Pada halaman sebelas. Aku membacai cerita penuh galuh. Berserakan di lantai licin berbusa bir, dalam kamar bising dan bingkai jendela bau pesing. Ada tawa dan lenguhan.

Dan nama-nama yang tak kukenal itu, berbicara tentang bahagia. Tapi bukan bahagia akan cinta. Mereka menyebut cinta hanyalah kelakar. Lalu menertawainya.

Aku melihat cahaya dan berpindah lagi ke halaman empat puluh satu. Gulita. Ada nama baru lagi. Nama seorang dula, yang kerap menyesali hidup.

Hidupnya tak pernah berpinar. Ia berkata bahagia hal yang muskil. Orang-orang dula seperti dia, dan orang-orang yang duduk di geta, sedang tidak benar-benar hidup. Hanya berjalan menuju redup.

Aku lama di halaman itu. Hampir sepekan, dengan umpatan. Sampai pendar cahaya memisahkan aku, dengan halaman yang penuh senandika. Kata terakhir yang kubacai: biarkan dunia ini hubar-habir.

Halaman sembilan puluh. Salah satu nama kukenali, dari halaman sebelas. Gadis yang telah dewasa. Menikah dan bahagia, tanpa cinta.

Ia sedang menggendong bayi. Matanya penuh kasih menatap bayi, yang sesekali memuntahkan susu. Tapi ia membayangkan wajah lain. Wajah yang pernah dikecupnya, lalu dimuntahi.

Sebulan aku dengan halaman ini. Membacai berulang kali kisahnya, dan tak pernah tahu untuk siapa cintanya. Laki-laki itu tak ada di halaman sebelas. Perempuan itu kembali berbicara dengan bayi, yang tak pernah mengerti bahasanya.

Udara pantai menyergapku, sebelum aku dijepitkan ke halaman seratus dua puluh tiga. Aku bertemu seorang kakek. Ia pedofilia dan baru saja ditangkap.

Kakek itu mencumbu seorang bocah perempuan. Di bui, penisnya disundut rokok seorang sipir. Tapi kakek itu hanya tertawa. Ia berkata: aku cinta anak itu, dan aku tetap mencintainya sampai membusuk di sini.

Kakek itu kembali berkata: cinta itu bukan seperti pembatas buku, yang hanya singgah dan melompati halaman demi halaman tak berurut. Sipir itu menamparnya. Kakek itu kembali berujar: cinta juga bukan seperti tamparan ini. Dan aku seperti ditampar.

Setelah dari pantai, aku kembali berpindah di halaman seratus tujuh puluh satu. Aku hanya menemu sisi lembar kosong, dan gambar jalan bercabang di sebelahnya. Aku lama berdiam di halaman ini, sebab pembatas buku tak pernah terselip di akhir cerita. Aku tak pernah mengerti seisi buku, seperti kata kakek itu.

Mungkin, seperti itukah cinta?

Tuesday, October 3, 2017

Kalau Cacingan Mesti Minum Bir Banyak-Banyak

No comments
Foto Mojok.co
Praktik IPA

Satu hari Ibu Guru kasih praktik pelajaran IPA di kelas Timo. Ibu guru yang manis itu bernama Enci’ Yulia. Timo dan teman-teman sekelas yang sedang mekar masa remajanya dikasih praktik dampak mengonsumsi alkohol.

“Anak-anak, kalian sudah kelas dua SMP, jadi praktik ini cukup jadi pelajaran buat kalian saja, jangan dicoba di rumah!” teriak Enci’ Yulia.

Anak-anak manggut-manggut saja mendengar penjelasan Enci’ yang saat itu sedang menyiapkan bahan-bahan praktik.

“Ini ada dua botol. Botol yang satu diisi air mineral, sementara yang satu diisi alkohol,” jelas Enci’.

Setelah itu Enci’ memperlihatkan dua ekor cacing tanah yang masih hidup dari dalam toples kecil transparan.

Timo dan teman-temannya kali ini lebih serius menatap Enci’. Kelas jadi sesunyi pemakaman.

“Sekarang Enci’ kasih masuk cacing yang satu ke botol air mineral. Yang satunya lagi ke botol bir,” kata Enci’ sambil mencemplungkan kedua ekor cacing itu ke masing-masing mulut botol.

Beberapa saat kemudian cacing yang berada di botol air mineral bergerak-gerak, sementara cacing di botol bir hanya sepersekian detik setelah masuk, mati.

“Nah, sudah lihat to? Coba anak-anak ambil kesimpulan dari percobaan ini.”

Semuanya diam mendengar pertanyaam Enci’.

“Ayo jawab. Jangan malu-malu, kalian,” kata Enci’ memberi semangat.

Timo akhirnya memberanikan diri maju ke depan kelas. Seisi kelas tetiba riuh dengan tepuk tangan.

“Apa kesimpulannya, Timo?” tanya Enci’.

Timo menjawab, “Bagini Enci’ … tadi kita lihat cacing di dalam botol air putih hidup to. 

Sedang di botol bir mati. Berarti kesimpulannya, kalau kitorang cacingan, musti minum bir banyak-banyak.”

Kompetisi Kangkung

Suatu hari, sepulang sekolah Timo dan dua orang temannya mampir di pinggir telaga lalu asyik bercerita.

Salah satu teman Timo bernama Hengky, setelah melihat tanaman kangkong (kangkung) di telaga, membuka pembicaraan dengan mengatakan kangkong di kampungnya tumbuh subur.

“Eee, kalau di kampung kami, makan batang kangkung dua buah sudah kenyang!” kata Hengky.

Teman yang satu lagi, Aguz, tak mau kalah lalu menimpali, “Ah, itu ndak ada apa-apanya, di kampung kami, dalamnya batang kangkung jadi jalan tikus!”

Timo yang sedari tadi belum menanggapi cerita soal kangkong akhirnya terpancing.

“Eee, kampung kalian semua masih biasa. Di kampung kami tikus ndak bisa lewat dalam batang kangkung.”

Mendengar itu, Aguz bertanya, “Ooo, berarti di kampung ngana kangkongnya kecil-kecil to?”

Sambil mencibir Timo menjawab, “Eh, itu tikus ndak bisa lewat karena ada kucing di dalam.”

Megawati & Jokowi

Timi, adik perempuan Timo yang baru kelas 3 SD suatu hari sepulang sekolah bertanya kepada kakaknya.

“Kakak, Ibu Megawati itu, Pak Jokowi punya mantankah?” tanya Timi polos.

“Eh, ngana masih kecil sudah cerita-cerita begitu. Ndak betul itu,” Timo menyanggah.

“Hiii, tadi Ibu Guru yang bilang begitu no,” Timi berusaha meyakinkan kakaknya.

“Presiden Jokowi punya istri itu Ibu Iriana. Bukang Ibu Megawati,” jelas Timo.

Timi yang masih kurang yakin dengan kakaknya kemudian berkata, “Berarti salah Ibu Guru yang bilang Ibu Megawati itu mantan presiden.”

Perampokan

Pukul 7 pagi Timo berangkat ke sekolah. Di depan gerbang sekolah Hengky dan Aguz menunggunya.

“Eh, Timo, ngana sudah bikin PR?” tanya Hengky.

“Adoh! Saya lupa, Teman!” kata Timo sambil menepuk jidatnya.

“Enci’ bakal cubit kita bertiga ini,” kata Aguz.

Timo memelintir ujung rambut keritingnya berkali-kali. Tak lama kemudian ia bersuara, 

“Tenang, kita ada alasan. Nanti kalian dua iya-iya saja di kelas.”

Sesampainya di kelas Enci’ Yulia menanyakan PR pelajaran IPA kepada para siswa.

“Anak-anak semua ada bikin PR to?”

Serentak kelas diriuhi suara: iya. Hanya Timo, Hengky, dan Aguz yang diam. Enci’ lantas bertanya kepada mereka bertiga, “Kalian bertiga ada bikin PR tidak?”

“Begini ceritanya, Enci’. Tadi pas mau kemari, kami bertiga kena rampok,” kata Timo.
Mendengar itu Enci’ balik khawatir, “Tapi kalian bertiga ndak apa-apa to?”

“Iya, Enci’, ndak apa-apa,” jawab mereka bertiga serentak.

“Terus PR kalian mana?” tanya Enci’.

“Itulah, Enci’ … perampok bawa kami punya isi tas sekalian dengan buku PR-nya,” jawab Timo.

Dari Sabang sampai Sorong

Setelah disuruh membeli beras di warung, Timo yang baru saja mau pulang ke rumah dikagetkan dua orang pria yang beradu mulut di depan gang.

Setelah mendengar adu mulut, Timo akhirnya tahu ternyata kedua pria itu, yang satunya berasal dari Sorong, satunya lagi dari Merauke.

“Eh, ko orang Merauke, awas kalau ko pergi ke Jakarta, ko jangan berani lewat Sorong eee!” ancam pria Sorong. Maksudnya ketika orang Merauke hendak ke Jakarta naik 
pesawat, tidak boleh lewat atau transit di Sorong.

Tak mau kalah, pria yang berasal dari Merauke berkata, “Eh, ko orang Sorong, awas ko kalau upacara, jangan ko berani menyanyi lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke’, ko stop saja di Sorong eee.”

Artikel ini sebelumnya dimuat di Mojok.co

Surat Sakit Puitis untuk Ibu Guru

No comments
Once upon a time … seorang bocah SD bernama Ungke lahir dan tumbuh di Kota Manado. Nama bocah ini sebenarnya keren: Stefanus Corneles. Cuma lantaran ini anak keturunan Suku Sangir (dari Sangihe, satu kabupaten di Sulawesi Utara), nama Ungke yang merupakan panggilan akrab untuk laki-laki Suku Sangir melekat kepadanya.

Ada beberapa mop tentang Ungke yang kerap kali dituturkan orang Manado dan sekitarnya. Ungke melegenda di kawasan Indonesia timur, dari ia kanak-kanak hingga kakek-kakek. Berikut beberapa mop tentang Ungke ketika dia bocah.

Pelajaran Sejarah

Ungke baru saja naik kelas 4 SD. Suatu pagi ia berangkat ke sekolah dan ketika sampai, semua siswa sedang apel di lapangan. Baru setelah itu satu per satu mereka dikandangin, eh, masuk kelas maksudnya.

Di kelas Enci’ (ibu guru) sudah menunggu mereka. Enci’ ini dikenal paling rajin serajin-rajinnya rajin di antara semua guru. Karena itu dia selalu lebih dulu berada di kelas, mendahului para siswa.

Pelajaran dimulai dengan pertanyaan.

“Anak-anak masi inga to pelajaran di kelas-kelas sebelumnya soal pahlawan nasional. So talalu le kalo so lupa (terlalu kalau sampai lupa). Enci’ mo tes tanya ulang sekarang.”

Pandangan Enci’ menyapu seisi kelas, kemudian berhenti di bangku Ungke.

“Ungke kenal Wolter Mongisidi?” tanya Enci’.

“Nyandak no,” jawab Ungke polos.

“Kalo Sam Ratulangi?”

“Kita nintau le.”

“Bagimana lei ngana ini? Samua ngana nintau. Ndak ja blajar ngana kang?”

Mendengar perkataan Enci’, Ungke balik bertanya.

“Enci’ kenal Eges Pinontoan, Mul Rumengan, deng Eling Sondakh?”

“Nyandak no Ungke … Sapa dorang itu?” tanya Enci’ dengan kedua alis yang tampak saling merangkul saking herannya.

“So itu no Enci’. Kita le ndak kenal nama-nama yang Enci’ tanya-tanya tadi. Samua kan ada kenalan masing-masing to?”

Benua Australia

Bukan hanya soal pahlawan nasional yang jadi masalah di kelas. Enci’ yang mengajar IPS tadi pun menemui masalah lain. Kayaknya memang itu Enci’ sedang sial.

Masalah itu diceritakan kembali oleh Ungke kepada bapaknya sepulang sekolah.

“Enci’ marah-marah pa Ungke tadi,” lapor Ungke.

“Kiapa le?” tanya bapaknya, yang sudah tidak heran lagi dengan laporan semacam itu.

“Enci’ tanya … ‘Di mana letaknya Benua Australia?’ Kong Ungke nintau,” cerita Ungke.

Bapaknya mendengus lalu berkata, “So itu ngana. Kalo bataru barang inga-inga (kalau taruh barang ingat-ingat).”

Surat Sakit

Setelah kejadian itu, Ungke tidak masuk sekolah selama tiga hari. Ia akhirnya mau sekolah setelah dibujuk bapaknya.

Sesampainya di sekolah Ungke ditanyai wali kelasnya.

“Kiapa Ungke ndak maso-maso?”

“Ungke ada saki … uhuk! Uhuk!” jawab Ungke sambil pura-pura batuk.

“Kalo saki kirim surat izin ne,” kata wali kelas.

“Percuma le mo kirim surat. Ibu guru le ndak mo balas.”

Ikut Les

Lantaran Ungke ketinggalan beberapa mata pelajaran, Enci’ memberikan les khusus untuk siswa yang ketinggalan mata pelajaran. Selain Ungke, ada Utu, Alo, dan Tole. Les diberikan di sekolah pada sore hari.

Pertama kali hadir Alo dan Utu. Sementara Ungke dan Tole sudah hampir setengah jam tak kunjung datang.

“Ngoni dua ndak dapa lia pa Ungke deng Tole (kalian berdua nggak lihat Ungke dan Tole)?” tanya Enci’.

“Tadi pulang sekolah, dorang dua baramain palinggir (layang-layang),” kata Alo.

“Memang nakal laeng itu anak dua itu,” Enci’ menggerutu.

Setelah sepuluh menit lagi menunggu, akhirnya yang disebut-sebut datang.

“Kiapa ngoni dua terlambat?” tanya Enci’ kesal.

“Tadi kita baku dapa deng ibu pendeta. Trus ibu pendeta minta tolong suruh ambe kunci gereja dapa tinggal di rumah,” kata Tole.

“Kong ngana dang, Ungke?”

“Pas Tole mo ambe kunci gereja, dia pangge le pa kita.”

Mendengar alasan kedua bocah tengil itu, Enci’ tak bisa berbuat apa-apa selain segera memulai les.

Bersiul

Meski telah mengikuti les beberapa kali, Ungke masih sering membikin kesal Enci’. Beberapa soal yang ditanya Enci’ dijawab salah oleh Ungke.

“Ngana ini biongo (bodoh) memang!” teriak Enci’ di kelas.

Ungke ditertawai teman sekelasnya.

Sepulangnya dari sekolah Ungke kembali melapor kepada bapaknya.

“Pa’, tadi Ungke, Enci’ kase bataria (berteriak) akang biongo,” tuturnya.

“Mar Enci’ nyandak pukul to?” selidik bapaknya yang merasa khawatir.

“Ndak pukul. Cuma dapa kase bataria bagitu.”

“Biar ndak pukul, mar nimbole Enci’ kase bataria bagitu. Papa’ nyandak terima! Besok Papa’ ka sekolah!”

Esoknya, Ungke ditemani bapaknya ke sekolah. Bapaknya pergi mencari Enci’ yang mengatai anak kesayangannya itu.

Setelah bertemu Enci’ yang dimaksud bapak Ungke segera melemparkan pertanyaan.

“Kiapa Enci’ bilang biongo kita pe anak?”

Enci’ itu tampak pucat. Seluruh guru di sekolah dan siswa-siswi berkerumun.

“Kalo memang Enci’ pande, sekarang kita tes pa Enci’!” kata bapaknya.

“Mo … mooo … tes apa?” tanya Enci’ itu gugup.

“Coba Enci’ tulis ini!” Bapak Ungke lalu bersiul.

Semua orang menggaruk kepala secara berjamaah.

Like father, like son ….

Surat Sakit Bagian II

Setelah berkali-kali beralasan sakit, akhirnya Ungke asli sakit.

“Pa’ …,” panggil Ungke dari kamar.

Bapaknya segera menuju kamar, “Kiapa le?”

“Ungke barasa demam.”

Telapak tangan kanan bapaknya segera mendarat di jidat anak satu-satunya itu.

“Keode’, saki butul ngana ini.”

“Tulis akang surat izin saki pa ibu guru. Supaya ndak mo dapa marah ulang,” pinta Ungke.

Bapaknya yang lihai merayu ibunya ketika masih pacaran dengan surat-surat cinta puitis lantas menulis surat izin sakit versi puisi.

Di pagi yang cerah
mentari menyembul dari punggung bukit
kembang-kembang mekar di taman
tapi ada satu kembang yang layu …
Ungke yang layu.

Barang Kotor

Libur sekolah akhirnya tiba. Ungke bersama bapak dan ibunya berlibur ke kampung halaman di Sangihe. Mereka berkunjung ke rumah oma dan opa dari sebelah bapaknya.

“Ado, so basar Oma pe cucu ini e,” kata Oma saat kali pertama melihat Ungke. Oma juga mencubit pipinya Ungke.

“Makang dulu sana. Ada ubi rubus deng ikang bakar,” kata Oma.

Ungke segera berlari menuju dapur. Saat makan, tetiba bagian kepala ikan bakar yang sedang diemut-emut Ungke jatuh. Ungke baru saja mau memungut, tapi teriakan Oma mengagetkannya.

“Ndak usah punggu. Kalo barang so ciri (jatuh) so kotor itu,” kata Oma.

Ungke menuruti perintah Omanya.

Setelah makan, Ungke menuju halaman belakang, melihat-lihat pantai. Tetiba Oma yang sedang membawa piring kotor ke tempat cucian piring terpeleset dan jatuh.

Opa yang melihat kekasihnya itu terjatuh segera menolong mengangkat Oma.

Melihat itu Ungke segera berteriak, “Opa, kalo barang so ciri ndak usah punggu. So kotor!”

Artikel ini sebelumnya dimuat di Mojok.co