Monday, November 20, 2017

Melawat ke Mojok, Salah Satu Objek Wisata Andalan di Yogyakarta

1 comment

Selain Borobudur, Prambanan, Malioboro, Keraton, dan ratusan objek wisata lain di Yogyakarta, rasanya tak komplet jika tak melawat ke salah satu objek wisata yang baru saja tenar, yaitu kantor Mojok.

Jika Anda berada di pusat Kota Yogyakarta, hanya berbekal gugelmep di aplikasi gojek atawa grab, Anda pasti akan segera menemukan kantor Mojok. Asal jangan naik becak gowes aja. Bahkan becak mesin motor, mungkin bisa ngos-ngosan kalau ke kantor Mojok.

Saya ingatkan, berdasarkan pengalaman saya pada Jumat 17 November 2017 kemarin, ketika memesan grab, di gugelmep biasanya keluar kantor Mojok.co dan Mojok Store di Ngaglik, Sleman. Waktu mesan saya kepakai alamat yang Mojok.co. Dan akhirnya nyasar ke Gang Elang. Saya pikir itu alamat yang sama, sebab sama-sama Ngaglik, Sleman.

Kantornya mayan jauhlah dari kota. Sekitar 30an menit, ditambah lampu merah dan nyasar, bisa 40an menit. Ongkos grabcar Rp49 K. Saya naik mobil karena gerimis. Kalok grabbike hanya berkisar Rp28 K.

Akhirnya setelah menghubungi Pemimpin Redaksi (Pemred) Mojok, Prima Sulistya, saya dikasih tahu kalau itu alamat lama. Kantor yang baru, jaraknya masih lumayanlah jauhnya. 16 menitan lagi lama tempuhnya. Biasanya orang Yogya nyebutnya di Jakal km 13. 

Angkringan Mojok kalau saya tidak salah ingat, kata Prima ada di Jakal km 9. Jakal itu akronim Jalan Kaliurang. Bukan Jaka Kalong. Saya saja baru ngeh pas janjian dengan teman yang kontrakannya ada di Jakal km 6. Terus saya nanya, Jakal itu apaan?

Saat menuju kantor Mojok, rutenya kalau kayak di Bali, ya, kita sedang menuju Ubud. Beberapa jalan masih melewati persawahan nan menawan. Terus udaranya tipis-tipis AC di angka 20an. Apalagi saat itu sedang hujan. Mungkin itu alasannya mereka milih ngantor di Ngaglik. Biar saat menulis, lebih nyaman. Sepi.

Tapi menemukan kantor ini tak semudah yang saya kira. Saya dan sopir grab masih muter-muter lorong, nanya ke bapak-bapak yang malah kebingungan, sampai akhirnya saya harus menghubungi Prima lagi. Setelah Prima menampakkan behelnya di depan kantor yang tanpa plang itu, sopir grab seketika mendengus dan ngucapin: ohhhh. Dongkol. Mungkin kalau si sopir ini jadi intel, dan jalan sendirian, pasti harus nongkrong di perempatan lorong dulu, mantau-mantau, nungguin kemilau behel Prima atawa giginya Agus.

Untung saja, saya tidak dikasih patokan tiang listrik. Kecuali tiang listriknya ditabrak Papa Setnov atau digigit Agus Mulyadi. Baru bisa jadi patokan. Bukan saja patokan, malah bekas gigitan Agus itu, bakal menambah popularitas tiang listrik depan kantor Mojok itu, dan menjadi destinasi pariwisata baru lagi di Yogyakarta.

Saat masuk kantor Mojok, pandangan saya yang tengah menyapu seisi ruangan, mentok ke gigi, eh, wajahnya Agus. Puja gigi ajaib, akhirnya ketemu orang ini.

Di deretan kursi pertama, saya menyalami Aditya Rizki si webmaster. Kemudian ada Manajer Keuangan, Dyah Permatasari, yang transferannya selalu ditunggu-tunggu para penulis Mojok, yang pada kere seperti si Adlun Fakir, eh Fiqri. Tapi sayang, Dyah saat itu juga harus pamit.

Setelah itu, baru saya menyalami Prima. Selanjutnya, Agus, yang sejak saya masuk senyum terus. Tapi senyum itu kayaknya efek 3D dari giginya. Berikutnya ada Arman Dhani, si pendekar twitter, yang tengah berasyik-masyuk dengan game. Kemudian ada Azka Maula, yang khusyuk menggambar ilustrasi di pen tablet.

Sayang seribu malang, sebab Kepala Suku, Puthut EA, sedang ke Malang. Sekretaris Redaksi, Audian Laili, dan Desainer Grafis, Ega Fansuri, yang biasa jadi duetnya Agus Mulyadi di Movi, juga tidak ada. Tapi mayan tergantikanlah, karena mantan Pemred, Eddward S Kennedy, ternyata mampir juga ke Mojok, beberapa menit setelah saya.

Ada hal teristimewa yang saya alami, dan sebelumnya tidak pernah terjadi selama saya menjadi wartawan. Saya dibikinin kopi sama seorang Pemred. Jarang-jarang lho, Pemred bikinin kopi. Meski Prima bukan Pemred di media yang mempekerjakan saya. Tapi jujur saja, kopinya terlampau pahit. Dan bubuk kopinya sampai nangkring di sesap kali pertama. Itu kopi brapa sendok ngana taruh e?

Agus yang sedari tadi senyam-senyum terus, mengajak saya ngobrol. Saya iri kepada makhluk yang namanya sebanyak rambu-rambu lalu lintas ini. Agus, wajahnya selalu ceria. Senandungnya mengikuti lagunya Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far a.k.a Ebiet G. Ade yang disetel Azka di komputer, lebih sering terdengar, daripada ucapan yang keluar dari mulutnya. Kayaknya ini anak, emaknya ngidam kaset pita kali yak? Atau mungkin toa masjid.

Selama berada di kantor Mojok, saya sedikit memahami cara kerja redaksi. Mereka membicarakan isu, tentu saja, saat itu soal Papa Setnov, tertawa, mengumpat, kemudian menuliskannya secepat kereta api Shanghai Maglev di China. Posting.

Azka yang biasa membikin ilustrasi, juga tampak teliti melukis wajah-wajah orang yang hendak dijadikan bahan lelucon. Misal, saat itu, Iqbal Aji Daryono, yang foto gondrongnya seperti John Lennon baru keluar salon, dipilih sebagai ilustrasi di info penulis berikutnya.

Arman Dhani dari rehat nyinyirnya, memilih meripres otaknya dengan main game. Setelah itu pantengin laptop, menulis. Sementara Rizki yang kalemnya minta ampun--sampai-sampai saya jadi tidak tegaan sewaktu sibukin dia nyariin buku dan kaus--, tengah serius pantengin laptop juga. Prima jangan ditanya lagi, kelincahan jarinya seperti pianis Ananda Sukarlan.

Dan ... Agus? Sudah saya bilang, dia makhluk terbahagia di alam semesta ini. Kerjaannya senyum, ketawa, bersenandung, dan mindahin pantat dari satu kursi ke kursi lain. Tapi karena Agus sedang santai, dialah yang banyak bercakap-cakap dengan saya. Orangnya cepat lengket.

Eddward S Kennedy yang biasa mereka panggil Panjul, lebih banyak dengan gadget, nyisir rambut pirangnya--yang kata Agus mirip Hatta Rajasa--dengan jejarinya, dan sedikit-sedikit benerin kausnya di bagian perut. Tampak dari perutnya, dia sangat sejahtera di Kumparan.

Hari itu, ada juga satu lagi pria, mungkin dia si Dony Iswara, yang biasa mosting-mosting di media sosial. Tapi si Dony ini kebanyakan di dalam kamar. Sibuk lemesin jejarinya mungkin, setelah seharian skrol-skrol klik-klik. Atawa malah mungkin dia si Ali Ma'ruf yang bertugas menjadi videografer. Saya tidak kenal wajah mereka berdua soalnya.

Nah, bagi kalian yang ingin berwisata ke kantor Mojok, diharapkeun membawa uang tunai. Sebab ada banyak buku layaknya toko buku di Taman Pintar, dan kaus-kaus yang tentu saja kerennya ngalahin kaus-kaus dilapakan Borobudur yang serupa labirin itu.

Saya hanya sempat membeli satu novel karya Puthut EA: Seorang Laki-Laki yang Keluar Dari Rumah. Karena judulnya hampir sama dengan keadaan saya, yang sedang keluar rumah dari awal tahun dan belum pulang-pulang. Sama satu kaus kloningan dengan yang dipakai Agus saat itu. Bagian depan kaus bertuliskan: speak english, drive american, kiss french, party caribbean, dress italian, spend arabic, agus magelangan. Asyu!

Agus sempat bilang gini, "Masak ke sini hanya beli bukunya Mas Puthut?"

Mungkin dari kalimat itu, terselubung iklan buku-bukunya yang itu tuh: Diplomat Kenangan, Bergumul dengan Gus Mul, dan Jomblo Tapi Hafal Pancasila. Atawa bukunya Arman Dhani: Dari Twitwar ke Twitwar. Atawa bukunya Eddward Kennedy: Sepak Bola Seribu Tafsir.

Tapi ... ya, begitulah. Kalian masih kalah tenar dan sakti dengan Kepala Suku. Dan uang di dompet saya tinggal cukup untuk satu buku dan satu kaus. Tentu saja saya prioritaskan yang sakti. Buku kalian ada di antreanlah. Sekalian nunggu bukunya Pemred Prima kelak, yang mungkin saja bakal diberi judul: Kamus Behel-Behel Indokarta.

Salam sayang selalu, for ngoni …

Tuesday, November 14, 2017

Amit Cirebon Jeh ...

No comments

Kota kecil ini tentu saja lebih ramai dari kotaku: Kotamobagu, di Sulawesi Utara. Di Kota Cirebon, semuanya ada. Termasuk rel kereta api yang tak kami miliki di Sulawesi.

Cirebon, kota yang begitu banyak menawarkan makanan enak. Jika kali pertama ke sini, kalian harus merasakan empal gentong. Rasanya, tak perlu ke surga.

Selain empal gentong, ada nasi jamblang, mi koclok, dan nasi lengko yang tak kalah enaknya. Dan masih banyak lagi makanan khas Cirebon lain, yang bisa kalian nikmati. Namun, sejauh cicipan lidah ini, empal gentong ialah yang terbaik. Ingin tahu lebih banyak soal kuliner di Cirebon? Gugling.

Menyoal objek wisata, baik budaya dan sejarah, Cirebon kaya akan itu. Peninggalan kolonial bertaburan di kota ini. Selain itu, di kota ini terdapat makam para syekh dan makam Sunan Gunung Jati. Karena itu kota ini disebut pula Kota Wali. Keraton juga ada. Mau lebih jelas, gugling.

Berada lebih dari dua pekan di kota ini, tentunya bukan tanpa alasan. Saya, membahasakan situasi ini: sebagai bentuk ikhtiar dari takdir perjalanan hidup saya. Sejenak menepi di sini, adalah hal paling berharga. Saya dikelilingi kebaikan-kebaikan yang tak satu pun sanggup saya balas.

Orang-orang di sini ramah. Saya sekejap bertambah teman. Dari mereka kalangan atas, menengah, hingga yang paling bawah. Ketiga lapisan ini tak terpisahkan, sebab saling berkelindan. Kebaikan dari yang di atas, akan bercucuran ke yang paling bawah. Tak semuanya begitu memang. Masih bisa ditemui sisi-sisi congkak, dari kota-kota kecil seperti ini, yang mulai merangkak menjadi keji.

Di Cirebon, saya menemukan antitesis dari kalimat: sakit pasti mahal. Tak semua dokter memungut biaya seenaknya kepada para pasien. Ada yang menerima seikhlasnya dan mematok harga sesuai kemampuan pasiennya. Selain itu, dokter-dokter ini rela membuka klinik yang jarak tempuhnya lumayan jauh dari rumah. Mereka mencari tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, dan lebih mendekatkan diri kepada orang-orang desa.

Dokter-dokter ini suka menyebut diri mereka sebagai: dokter desa. Saya pernah bertanya, "Kenapa tidak membuka klinik di rumah atau di area perkotaan?" Jawaban yang saya dapat, "Di kota akan lebih ramai pasien."

Tentu saja jawaban itu mengherankan. Sebab yang namanya mencari duit, tentu saja ingin pasien yang banyak. Tapi dokter-dokter ini memilih membuka klinik jauh dari perkotaan, agar bisa lebih dekat dengan orang-orang yang terpinggirkan.

Klinik mereka berada di salah satu tepi lorong sebuah desa. Menuju desa ini, persawahan hijau akan dilewati. Memang kondisi di desa ini, tidak seperti desa kebanyakan yang kita kenal. Misal; sepi, akses jalan sedikit susah, dan fasilitas kurang memadai. Tapi di desa tempat klinik mereka berada, sudah jauh lebih maju. Penjual buah-buahan dan makanan berjejer sepanjang jalan. Beberapa kios berderet pula. Selain ontel dan becak, kendaraan roda dua dan empat pun cukup ramai. Sebab desa ini pusat kecamatan dari desa-desa kecil di sekitarnya.

Selama di sini, ada banyak hal yang saya pelajari. Dari seorang sopir, saya belajar tentang arti kesetiaan. Dari seorang mang becak, saya belajar soal kegigihan, dan percaya bahwa usia hanya deretan angka. Dari seorang pendatang nun jauh yang memilih menikah di sini, saya belajar bahwa kebaikan kerap menular. Dari seorang penjual makanan, saya belajar jikalau untung sudah lebih dari cukup, untuk apa lagi menambah jualan? Dan dari beberapa dokter di sini, saya belajar kalau hidup memiliki batas, dan jika itu sudah dicapai, mau apa lagi?

Menyoal kebaikan, banyak hal yang tak harus diutarakan. Sebab makna kebaikan akan berkurang, jika semuanya harus dituturkan satu per satu. Disimpan saja sebagai cermin, agar selalu teringat berbuat baik kepada orang lain.

Ah, terima kasih untuk segala kebaikan di kota ini; makanannya yang enak, keramahan, dan kotanya yang indah. Sampai berjumpa lagi tahun depan ... empal gentong!


Stasiun Cirebon, Rabu, 15 November 2017.

Sunday, November 5, 2017

Selamat Menempuh Eges Baru

No comments

Pernikahan adalah fase terumit dari manusia. Kenapa saya mengatakan rumit? Sebab hidup sejalan dengan orang lain tentunya hal yang sulit. Kita harus berbagi makanan, uang, bahagia, sedih, dan malu. Saking rumitnya banyak yang gagal. Termasuk saya.

Tepat 4 November dua kawan baik saya memilih menapaki fase itu. Salah satunya Pasra Hidayat Mamonto atau Eges. Ia kawan wartawan, ketika di Radar Bolmong, periode 2015.

Satu hal yang paling lucu ialah saat mengingat nama depannya. Pasra. Konon saking inginnya anak perempuan, setiap kelahiran, orangtuanya kerap berharap, agar yang lahir bayi mungil nan cantik. Namun saat kelahiran ketiga atau keempat (saya lupa), bayi laki-laki ini terlahir.

Ayah dan ibunya memilih pasrah. Kemudian ia dinamai: Pasra (tanpa h) Hidayat. Hidayat mungkin diambil dari kata "hidayah", yang bisa jadi sebagai bentuk hormat atas ketetapan Tuhan, bahwa manusia memang memiliki keterbatasan. Tidak bisa memilih jenis kelamin.

Sewaktu menjadi wartawan, saya sering menemui Eges dengan ketekunannya di sudut kantor. Ia bisa membikin belasan berita selama beberapa jam, melebihi kami. Maklum, ia wartawan yang sedang naik daun dan disenangi para pejabat kala itu.

Karirnya cukup gemilang, ia bisa gonta-ganti ponsel pintar hanya selang dua atau tiga bulan. Mungkin itu semua bayaran setimpal, atas kerja kerasnya meringkus kata "sepakat", untuk setiap kontrak atau advetorial.

Ada tiga hal yang sama antara saya dan Eges. Kami memiliki banyak uban. Kendati punyanya lebih banyak. Itu pertanda pekerja keras, mungkin. Rambut sampai menua lebih awal. Berikut, kami sama-sama anak bungsu. Dan terakhir, saya dan Eges sama-sama anak yatim.

Eges cerewet. Apalagi ketika mabuk. Ia juga dikenal berdarah cecak--sebutan untuk orang yang cepat mabuk. Tapi seiring waktu, Eges mulai menempatkan diri. Ia telah mengurangi asupan alkohol dan memperbanyak minum susu. Sampai akhirnya, tabungannya telah penuh, dan Eges memilih menikah di bulan ini.

Mungkin benar, kawan, jika orangtuamu senang dengan anak perempuan, kenapa bukan kalian yang mewujudkan itu? Semoga dikaruniai bayi perempuan mungil nan cantik. Biar ayahmu yang telah lebih dulu berpulang tersenyum di sana, pun ibumu yang semoga diberi kesehatan, agar masih bisa menunggu dan memeluk cucunya.

Kalau yang lahir nanti laki-laki, jangan sekali-kali memikirkan nama: Terserah. Tidak lucu jika anakmu bernama panjang: Terserah Pasrah Pada Hidayah Tuhan.

Ah, selamat menikah, kawan ...

Saturday, November 4, 2017

Mang Kancil

No comments

Namanya Mang Kancil. Mungkin karena postur tubuhnya kecil. Sewaktu keluar homestay, Mamang kebetulan mangkal di depan sambil makan singkong goreng. Karena aplikasi gojek saya error, dan tahu kalau tujuan saya lumayan jauh, saya sebenarnya tidak tega makai becak. Apalagi pas tahu usia Mamang sudah 61 tahun.

Dia menawarkan jasa. Dan saya tidak bisa menolak. Sewaktu mau gowes, sandalnya sempat lepas. Maklum, berat badan saya di atas 70 kilo. Selama perjalanan saya nanya-nanya sejak kapan narik. Mamang ngaku sejak 1982. Setahun setelahnya baru saya netas di dunia yang fana(s) ini.

Malam ini purnama. Sebenarnya saya ingin main ke Gedung British American Tobacco (BAT). Dari tempat saya lumayanlah kalau naik becak. Sekitar tujuan kilo.

Gedung BAT dari hasil gugling, mulai digunakan pada 1924 dan dirancang F.D. Cuypers & Hulswit bergaya Art Deco, gaya yang bermula pada awal 1920-an dan digunakan sampai setelah Perang Dunia II.

Gaya atau struktur Art Deco berdasar pada bentuk geometris matematis yang terlihat elegan, glamor, fungsional dan modern. Dari foto-foto yang saya pindai di gugel memang gedungnya artistik.

Beberapa tahun lalu, Gedung BAT jadi pabrik rokok, PT Bentoel International Investama (BINI). Dan saat ini gedung itu sudah tidak digunakan lagi untuk membikin rokok. Sudah dijual. Kabarnya  miliaran.

Sewaktu gowes, sesekali Mamang mengetuk bagian logam becak dengan tangannya, sebagai klakson manual saat bertemu kendaraan atau pejalan kaki. Baru saja cerita-cerita dengan Mamang, soal istri ketiganya, kami sudah sampai di Alun-Alun Kejaksan. Salah satu titik keramaian di Kota Cirebon. 

Saya pilih ke Alun-Alun dulu biar Mamang tidak kecapean. Tepat di samping Alun-Alun berdiri megah Masjid At-Taqwa.

"Mamang sudah makan?"

"Belum, jalan terus dari jam 4 sore."

Saya mengajaknya makan tapi dia menolak. Alasannya masih kenyang makan singkong goreng tadi.

"Merokok?"

"Iya."

Saya membelikannya sebungkus rokok kretek sama korek kayu, yang ia tolak pula awalnya. Tapi setelah dipaksa, akhirnya ia terima.

"Ini buat Mamang nunggu."

Di Alun-Alun, saya hanya menikmati sepintas saja lalu pergi mencari makan. Sekalian nebeng ngecars hape. Setelah makan saya kembali ke parkiran becak.

Saya coba bertanya apakah Mamang sanggup dari Alun-Alun ke Gedung BAT. Ia menyatakan sanggup.

Mamang ini tinggalnya lumayan jauh dari pusat kota. Sampai 30an kilo. Dia harus naik angkot dan menitip becak ke tuannya. Ia hanya tukang narik aja. Setoran per lima hari Rp25 ribu. Harga becaknya kalau dibeli Rp500 ribu. Tapi ia mengaku tidak sanggup membeli becak, yang telah menemaninya selama tiga tahun. Ia pindah-pindah tuan selama narik.

Mamang narik dari pukul 4 sore sampai 5 pagi. Katanya, dia khusus narik malam. Jadi baru pagi hari dia pulang ke rumah. Menurut Mamang, kalau nabung 4 bulan, harga becak bisa ia lunasi. Tapi uang penghasilan buat makan aja. Apalagi cucunya sudah mau SMA.

Saat menuju Gedung BAT, ketika melewati kota tua, ia berbisik ...

"Hapenya jangan dipegang-pegang. Nanti ada yang ngawe."

Ia mengingatkan saya. Jika saja ada yang ngawe atau jambret. Apalagi becaknya tak sanggup mengejar jika jambretnya pakai motor. Tapi menurut Mamang, jambret atau copet masih jarang sih.

Beberapa menit kemudian kami sampai di Gedung BAT.

"Ini Gedung British American Tobacco. BAT," jelasnya dengan ejaan yang lumayan nginggris.

Sesampai di BAT, saya mulai memotret. Mamang memarkir becaknya tak jauh dari tempat jualan kopi. Ia tampak terkantuk-kantuk.

"Pesan kopi, Mang," kata saya sambil menyerahkan uang.

"Dua ya? Situ minum juga?"

"Iya."

Setelah itu ia memesan kopi di kedai dorong tepat di samping becak. Mamang kembali dengan dua gelas kopi, lalu kami melanjutkan cerita tentang istri ketiganya ...


(((Foto tra usah heran ee, bobot saya lumayan berat)))

CBN, 4 November 2017.

Thursday, November 2, 2017

Selamat Menyelam Lebih Dalam di Bumi Manusia

No comments


Episode Shandry ...

Jejaring semesta akan mempertautkan pikir serupa. Shandry Anugerah Hasanuddin, lima tahun silam hanyalah kawan dari frekuensi yang merambat di udara. Kami sedang genit-genitnya mencari Tuhan di pepohonan, langit, tanah, bebatuan, dan ponsel-ponsel pintar. Berbantah-bantahan ialah keharusan. Sebab pikir harus terus didesak dengan pertanyaan: siapa aku?

Kami dimantrai kata-kata, tentang manusia yang harus memikirkan dari mana asalnya. Jika tidak, laiknya seekor kelinci yang disihir dan keluar dari dalam topi pesulap, ia hanya diriuhi tepuk tangan penonton, tanpa pernah ingin mencari tahu dari mana asalnya. Manusia bukan kelinci.

Di Desa Bilalang, tempat Shandry kali pertama menyeret langkah, ada setumpuk kenangan yang kerap membisikkan kata pulang. Rumah yang dikitari bunga dan pepohonan, dialiri sungai dan diteduhi berumpun bambu. Rumah tempat neneknya sering ditemui menyirat rindu kepada cucu-cucunya di pojok yang kekal.

Dari sana, tekadnya untuk menata semangat anak-anak muda di desa semakin teguh. Desa adalah tempat yang membuat rasa khawatirnya terus ada, dibandingkan kejamnya mama kota di negeri seberang dan bising jalanan yang penuh sesak dengan orang-orang berdasi kupu-kupu, tapi tak pernah merasa terbang bebas.

Shandry memilih menemui para petani berpeluh, dan mendengar cerita tentang berapa lama lagi panen tiba. Atau para penambang dengan kisah-kisah mereka tentang seberapa dalam galian, dan anak-istri yang menanti di rumah selama berbulan-bulan.

Di desa itu pula, beberapa bocah riang diajak berpesta dengan kata-kata di rumah belajar Saung Layung Arus Balik. Di sini, semesta adalah guru, katanya. Tempat bocah-bocah itu diberi kebebasan menggambar dan menulis apa saja yang terlintas di imajinasi mereka, lalu menamainya sesuka hati.

Mungkin desa, ialah genta, agar kelak ia mendengar seperti apa kuasa yang mampu menggerakkan orang-orang terpinggirkan, yang membuat mereka bisa reriungan dengan tawa lepas, dan tak ada lagi kecemasan akan seberapa tebal kepul asap di dapur nanti.

Suatu sore, tepat di bebatuan sungai yang berada di tepi kandang ayamnya, Shandry membasuh dan melarung selembar kenangan. Ia ingin lembar kisah baru.


Episode Gita ...


Perempuan berambut sepundak itu, barangkali luput mengenaliku ketika beberapa kali singgah di rumahnya, pada sisa-sisa malam di Kotamobagu. Aku kenali dia dari sosok ayahnya yang begitu akrab dengan kami, yang nokturnal ini. Ayahnya sering disapa Om Nus. Meja biliar di sudut rumahnya dulu, jadi persinggahan kami ketika kota tak lagi menawarkan kesenangan apa-apa.

Brigitha Kartika Mokoginta namanya. Gita, begitu nama kecilnya, beranjak tumbuh di antara landskap kota berdebu. Patung Bogani tegar berdiri tak jauh dari rumahnya, tepat di tepi sungai yang mengalir pula di belakang rumahnya. Patung yang tampak jenuh, karena penduduk kota mungil itu tak pernah mengajaknya selfie.

Rutinitas kantor, tak menjeratnya begitu saja, untuk terpaku pada pekerjaan. Sering, larik demi larik puisi pendeknya bertaburan di sela-sela penat kantor, dan di jeda postingan foto-fotonya bersama teman sejawat. Puisi, menurutnya mampu mendalami kejujuran, sebab puisi tak bisa berbohong.

Gita berwajah ibu, namun terlalu dekat dengan ayahnya. Karena itu, pundaknya tampak lebih tegar. Ia seperti siap menjunjung apa saja beban hidup di punggungnya.

Senyum manisnya selalu terkembang. Gita tak banyak berkata-kata. Mungkin baginya, senyum sudah lebih dari cukup untuk menjawab setiap tanya.

Pernah suatu hari, Gita membenamkan wajahnya di bantal. Ia berteriak sekencang-kencangnya, setelah mendengar kabar salah satu teman sekantornya, Bedewin, terlalu belia berpulang.

Persahabatan, mungkin ialah satu-satunya hal yang paling menghiburnya saat bekerja. Tapi ketika itu hilang, bukan berarti langit akan selalu bertudung halimun. Ada yang akan datang melebihi pertemanan, yang gemar menggaruk-garuk gitarnya. Dan orang itu setia menyikap satu demi satu awan mendung dengan kidung cinta.


Episode Bersama ...

Mokoginta, marga yang jadi isyarat jikalau Shandry dan Gita memiliki pertalian klan. Ibunya Shandry bermarga Mokoginta. Marga yang sesekali ia rekatkan di ekor namanya. Namun hal itu bukan berarti cinta mereka dipertemukan kekerabatan.

Entah kapan Shandry mengenali Gita lebih dekat. Mungkin dengan mengajak Gita jauh lebih dalam mengenali dunia literasi. Lebih dalam mengeja puisi demi puisi.

Jodoh benar adanya saling melengkapi. Shandry berperangai sanguin, dan tentu saja terlalu banyak berbicara, lantas dipertemukan dengan Gita yang tak banyak bicara.

Namun, bukankah itulah keagungan suatu hubungan? Shandry harus menyesap kemuliaan diam. Dan Gita belajar, dalam hidup banyak hal yang harus diutarakan. Meski itu penderitaan.

Kini, fase hidup mereka berpindah. Menikah. Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Tentu saja kebahagiaan. Tapi kebahagiaan muskil sempurna, ketika tak ada cobaan yang menguatkan cinta.

Selamat menyelam lebih dalam di Bumi Manusia ...

Akurlah hingga uzur, sampai rambut kalian dipenuhi awan berlajur.



CBN, 3 November 2017