Friday, March 16, 2018

Sebongkah Berlian di Kepulauan Togean

No comments

Ini tanah airmu, di sini kita bukan turis …

Teman saya, Rival Dako a.k.a Pepen, menyuruh saya memunggunginya. Kemudian ia memotret tulisan di kaus saya itu. Sebait sajak dari Wiji Thukul.

Selasa malam, 16 Mei 2017, kami berada di atas buritan kapal feri di pelabuhan Gorontalo, yang hendak menuju pelabuhan Wakai, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah (Sulteng). Selain saya dan Pepen, ada teman satu lagi bernama Wawan Akuba yang ikut bersama kami.

Di antara kami bertiga, hanya saya yang baru kali pertama menuju Wakai, atau tepatnya Kepulauan Togean. Ini adalah wilayah Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), yang juga merupakan destinasi wisata andalan di Sulteng atau di Pulau Sulawesi.

Pepen pada bulan sebelumnya, sudah pernah mengunjungi Togean bersama Wawan. Dan dari kami bertiga, Wawan satu-satunya yang layak menerima tropi karena berada di urutan pertama, orang yang sudah tiga kali berkunjung ke Togean. Ia sudah sejak Maret dan April 2017.

“Iya, kami akan ke Pulau Malenge dan Pulau Papan. Ada program kampanye lingkungan di sana,” suara Wawan sayup-sayup terdengar.

Ternyata ia sedang berbincang dengan seorang bule perempuan, yang belakangan diketahui berasal dari Australia. Bule itu kira-kira usianya di atas 50, rambut merahnya sudah berhias keperakan. Ia duduk di bangku panjang, yang hanya muat untuk kami berempat. Saya, Pepen, Wawan, dan dia.

Bule yang saya lupa namanya itu, fasih berbahasa Indonesia. Ia sudah bertahun-tahun tinggal di Desa Katupat. Secara sukarela, ia mengajar bahasa Inggris bagi anak-anak pulau.

“Saya baru saja mengantar anak laki-laki saya dan pacarnya ke bandara. Mereka berlibur di Togean,” katanya, sambil mengepulkan asap rokok yang dengan cepat disambar angin di pelabuhan.

Tak lama berselang, bule itu pamit dengan melempar senyuman dan sekali anggukan. Ia menuju tong sampah lalu mematikan rokoknya, dan berjalan masuk menuruni tangga ke lambung kapal.

Saya sedang memotret tulisan Pelabuhan Gorontalo yang menyala dari kejauhan. Tiba-tiba buritan riuh. Sekelompok mahasiswa muncul dan berfoto-foto. Satu per satu bule-bule pun muncul. Ada sekitar sembilan orang bule. Di genggaman tangan mereka ada bir kaleng ukuran jumbo, yang mereka beli di kafetaria mungil tepat di samping kanan buritan.

Saya melirik jam di ponsel. Sudah pukul 9 malam. Tak lama kemudian bel kapal berbunyi. Kami akan segera bertolak menuju Pelabuhan Wakai.

“Biasa, kalau berangkat jam begini, tiba di Wakai jam berapa? tanya saya.

Pepen yang tengah asyik dengan ponselnya, menengadah, “Sekitar pukul 8 pagi.”

Lama tempuh sekitar 12 jam. Waktu yang sama jika kita bertolak dari Pelabuhan Gorontalo menuju Pelabuhan Pagimana, di Kabupaten Luwuk Banggai. Semalam.

Sudah hampir sejam kapal bertolak, lampu-lampu di daratan masih terlihat. Sinyal di ponsel pun masih dua sampai tiga lengkungan. Orang-orang di buritan yang tidak tahan terpaan angin, memilih masuk.

Wawan membuka ranselnya dan mengambil hammock. Ia menggantungnya tepat di samping kami. Saya dan Pepen pun ikut menggelar sleeping bag di lantai kapal, di bawah naungan hammock-nya Wawan, yang serupa kepompong melintang.

Sekitar tiga meter di samping kiri kami, tiga pria bule juga ikut melantai berbungkus sleeping bag. Sementara di sebelah kanan ada dua pria bule berpostur tinggi besar, masih berasyik-masyuk dengan bir kaleng. Sepintas mereka berdua seperti saudara kembar. Sama-sama berkepala plontos dan berpipi tebal. Tapi dari usia, bisa ditebak mereka adalah ayah dan anak. Kedua bule itu akhirnya merentangkan badan di lantai beralas matras. Kulit putih, membuat pipi merah mereka terlihat jelas seperti sepasang buah tomat, tersaput cahaya bohlam.

Kendati kami membeli tiket kelas bisnis seharga Rp89 ribu, yang mana disediakan kursi empuk di dalam kapal, namun kami lebih memilih tidur di buritan depan kafetaria. Untuk tiket ekonomi seharga Rp63 ribu, penumpang biasanya disediakan ranjang kayu dua susun. Jika ranjang penuh, maka penumpang memilih beralas kardus atau matras yang disewakan Rp10 ribu.

Untuk kelas VIP seingat saya harganya berkisar Rp100 ribu. Di kelas ini disediakan tempat tidur berjejer untuk belasan orang. Pun fasilitas pendingin ruangan dan kamar mandi. Tapi fasilitas itu kalah menarik dengan hamparan bintang di langit, angin sejuk, dan tempat tidur seluas buritan, seukuran lapangan badminton itu.

Bagi yang ingin lebih privasi, bisa menyewa kabin. Tentunya dengan harga lebih mahal, berkisar Rp300-500 ribu per kabin, bisa muat untuk dua atau tiga orang, dengan ranjang susun. Bahkan awak-awak kapal biasanya ada yang menyewakan kabin mereka.

Tak sabar rasanya ingin segera sampai ke Kepulauan Togean. Dan salah satu cara tercepat adalah: tidur.

Sebenarnya untuk pergi ke Togean ada beberapa rute yang bisa dipilih. Bagi yang hendak lewat Gorontalo, untuk turis yang baru kali pertama, bisa datang ke Gorontalo melalui jalur udara. Saat Anda mendarat di Bandara Jalaluddin Gorontalo, bisa menyewa kendaraan untuk menuju Pelabuhan Gorontalo. Biasanya tarif per orang Rp70-80 ribu. Kalau ada yang meminta biaya lebih dari seratus ribu, yakinlah mereka itu ingin naik haji cepat-cepat.

Selanjutnya, di Pelabuhan Gorontalo Anda harus membeli tiket kapal feri Tuna Tomini, dengan variasi harga yang saya jelaskan sebelumnya. Jadwal berangkat kapal feri biasanya Selasa dan Jumat, paling lambat sekitar pukul 6 malam.

Bagi yang ingin lewat Gorontalo dengan rute berbeda, bisa melalui Desa Bumbulan, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Anda akan tiba di Dolong, Pulau Waleakodi, Kepulauan Togean. Tapi jarak tempuh dari bandara ke Paguat sekitar 5 jam. Dari Bumbulan, naik kapal Cengkeh Afo, yang hanya berangkat setiap Senin dan Kamis, waktu yang sama dengan keberangkatan kapal feri di Pelabuhan Gorontalo. Tapi dari Bumbulan, jarak tempuh melalui laut hanya 6 jam.

Sementara rute lain yang bisa dipilih, Anda bisa melalui Palu, Sulteng. Sesudah mendarat di Bandara Mutiara SIS Aljufri Palu, dilanjutkan dengan jalur darat menuju Pelabuhan Ampana. Anda akan melewati Poso, dengan jarak tempuh 375 km selama 10 jam, menggunakan bus. Biasanya dari bandara di Palu, ada juga pesawat baling-baling menuju bandara kecil Tanjung Api di Ampana.

Setibanya di Ampana, Anda tinggal melanjutkan perjalanan dengan kapal publik Puspita Sari atau Lumbalumba menuju Wakai. Harga tiket hanya Rp20 ribu, dengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam. Kapal tersebut hanya beroperasi Senin, Rabu, dan Sabtu, sekitar pukul 10 pagi.

Ingin lebih cepat sampai, biasanya ada kapal cepat dengan waktu tempuh kurang dari satu jam. Tapi Anda harus merogoh kocek sekitar Rp150 ribu per orang. Kapal lainnya yang bisa ditumpangi, yakni kapal feri Tuna Tomini yang berangkat dari Ampana setiap Senin, Kamis, dan Minggu dengan waktu beroperasi yang sama dengan kedua kapal sebelumnya. Tapi jika Anda memilih naik kapal feri ini, harus dipastikan apakah ingin turun di Wakai atau Dolong. Tapi kebanyakan turis akan turun di Pelabuhan Wakai.

Dari semua rute pilihan di atas, melalui Pelabuhan Gorontalo kerap menjadi pilihan turis. Sebab hanya butuh waktu semalam mengarungi Teluk Tomini dari Gorontalo, Anda sudah sampai di Wakai. Anda juga akan dimanjakan oleh langit malam yang bertabur bintang gemintang, dan sunrise yang menanti pagi harinya.

Sekitar lewat tengah malam, saya dan Pepen terbangun. Perut seperti memberi sinyal butuh diisi. Bekal milik Wawan, kami hamparkan di lantai beralas matras. Setelah kenyang, kami berkeliling buritan sembari merokok. Ada belasan orang bergelimpangan di lantai. Pulas.

Setelah puas merokok, kami memilih kembali tidur, dengan harapan ketika mata terbuka, cahaya matahari sudah memoles langit pagi.

*

“Bangun. Sudah pagi.” Suara terdengar seiring hentakan di badan saya.

Benar, langit sudah abu-abu. Siluet pulau di kiri dan kanan kapal sudah terlihat. Orang-orang mulai ramai naik ke buritan. Apalagi disusul rombongan mahasiswa itu.

Bule-bule yang tadinya pulas, ikut terbangun. Berbekal air mineral, mereka mengguyur wajah. Tepi buritan menjadi tempat rebutan. Sepanjang jalan, di kiri dan kanan pulau-pulau kecil berjejer karts seukuran rumah berlantai dua, mencuat dari kulit lautan.

Dan, matahari terbit yang per lahan mengintip dari punggung sebuah pulau, memukau semua orang.

“Di sana Wakai,” tunjuk Pepen ke arah haluan kapal.

Tinggal belasan menit lagi kami akan berlabuh di kepulauan yang berada di lidah Pulau Sulawesi ini, setelah mengarungi Teluk Tomini yang kebetulan begitu hening selama perjalanan.

Tak lama kemudian, sekitar pukul 8 pagi, Rabu 17 Mei 2017, kami sampai di Pelabuhan Wakai. Ada sekitar ratusan rumah beratap seng, terhampar di sekitar pelabuhan. Selesai kru kapal menambatkan tali di pelabuhan, kami turun paling belakangan. Jalan masih panjang setelah ini …

Selengkung Pelangi Sesudah Badai

Di Pelabuhan Wakai, telah banyak guide yang menawarkan jasa mereka, sekaligus yang menyewakan perahu. Sebab dari Wakai, jika tujuan kami ke Pulau Malenge, kami harus naik kapal atau perahu lagi menuju ke sana dengan durasi sekitar dua jam.

“Ayo, menuju pos. Kita daftar nama dulu,” ajak Wawan.

Di pos pelabuhan, kami harus mengisi daftar nama dan menyertakan tujuan. Tidak ada pemeriksaan tanda pengenal. Pendataan bertujuan hanya untuk mengetahui, apakah kami turis atau memang bekerja di tempat tujuan kami. Tidak ada pemungutan biaya. Paling-paling kita disusul orang-orang lokal yang menawarkan jasa angkutan.

Bagi para turis yang baru kali pertama pergi ke Togean, tentunya hal yang perlu dicermati adalah ongkos jasa angkutan. Dari Wakai, jika hendak menuju Pelabuhan Malenge di Pulau Malenge, sebenarnya ada jasa angkutan publik yang biayanya hanya Rp20 ribu per orang. Tapi kebanyakan turis yang enggan menunggu kapal publik, yang beroperasi pukul 2 siang itu, bisa naik perahu mesin dengan harga carteran.

“Biasa satu perahu mesin dicarter bisa sampai 750 ribu. Tapi kita bisa patungan,” kata Wawan.

Karena tidak mungkin kami menunggu kapal publik yang baru tiba pukul 2 siang, sementara kami harus berburu waktu dengan pekerjaan, pagi itu kami ditawari perahu mesin. Kami patungan dengan empat orang bule. Kami bertiga dimintai Rp50 ribu per orang. Entah berapa untuk bule-bule itu.

Setelah sepakat, kami seperahu dengan sepasang turis dari Irlandia, dan dua turis perempuan yang satu berasal dari Australia, sementara satunya lagi berwajah oriental berasal dari Malaysia.

Pemilik kapal, seorang perempuan berkulit legam yang akrab disapa Umi, ikut bersama kami, dengan satu pria guide yang akan menemani dua turis Australia dan Malaysia itu. Ditambah satu pria yang menyetir perahu mesin.

Di dalam perahu, kami saling berkenalan dengan turis-turis itu, berbekal penguasaan bahasa Inggris yang sialnya, kami tidak bisa menggunakan google translete di ponsel pintar kami. Sinyal telekomunikasi hanya di Wakai, dan setelah bertolak dari Wakai, maka ponsel pintar kami menjadi dungu seketika.

Dari percakapan itu, diketahui sepasang turis dari Irlandia adalah musisi reggae. Sudah dua album lagu yang mereka rilis. Sementara turis dari Australia adalah mahasiswi, yang ternyata sekampus dengan turis asal Malaysia itu. Mereka berdua berteman dan berangkat bersama dari Australia.

Tak lama, Pulau Kadidiri sudah di depan mata. Dari Wakai hanya butuh sekitar 30 menit perjalanan untuk sampai ke Kadidiri. Pulau berpasir putih dengan deretan nyiur dan cotage berbahan kayu, menyapa kami. Sepasang turis Irlandia turun di salah satu cotage di Kadidiri Paradise Resort & Dive, yang berada di antara hutan mangrove.

Pria Irlandia berambut panjang yang diikatnya dan bertopi itu pamit, disusul pacarnya yang memiliki tato mungil bergambar babi di pergelangan kaki kirinya. Sementara kami, masih melanjutkan perjalanan yang akan ditempuh selama sejam lebih lagi, di tengah rintik hujan.

Selain Pulau Kadidiri, ada banyak pulau lain yang memiliki resort. Seperti Pulau Malenge yang menjadi tujuan kami, Pulau Waleakodi, Bolilanga, Batudaka (Bomba), Poyalisa, yang rata-rata hanya memiliki satu resort sebab pulaunya kecil. Tapi di beberapa pulau lain, bisa ditemui pulau dan pantai-pantai berpasir putih tak berpenghuni, dan tak kalah menarik.

Baru beberapa menit perahu kami bertolak dari Kadidiri, hujan deras mulai turun. Setelah itu hujan kembali reda, dan menyisakan gerimis. Tapi angin semakin kencang, dan ombak meruncing.

“Saya sudah bilang, jangan dulu berangkat tadi. Ini musim angin kencang kalau berangkat jam begini,” kata pria yang membawa perahu, dengan bahasa lokal.

Kami bertiga jelas cemas. Sementara turis Australia dan turis Malaysia yang kendati ia paham sedikit bahasa Melayu, tetap tidak mengerti dengan bahasa lokal. Tapi dari mata kedua turis itu, ada kecemasan berdiam.

Ombak dan angin semakin kencang, ketika kami melewati satu pulau berpasir putih tanpa penghuni. Ombak meruncing kira-kira semeter, dan percikan ombak mulai membasahi kami.

“Kita ikut jalan potong saja,” usul pria yang berprofesi sebagai guide.

Pembawa perahu mengambil kesempatan untuk bisa menyerongkan perahu, di tengah terpaan ombak. Kalau tidak lihai, tindakan itu bisa mengakibatkan perahu terbalik.

Saya segera memasukkan kamera dan ponsel ke dalam air bag. Perahu berhasil menyerong dan menuju ke arah hutan mangrove di bibir salah satu pulau. Tapi ternyata yang kami temui adalah jalan buntu.

Setelah perdebatan kecil antara pria pembawa perahu, guide, dan Umi, akhirnya jalan alternatif untuk menghindari ombak dan angin kencang, berada di samping kanan pulau. Kami kembali masuk lautan lalu memutar dan selamat sampai di pintu masuk jalan tersebut.

Hutan mangrove tampak rindang. Air tenang.

“Di sini banyak buaya,” kata Umi menggoda.

Tapi memang dari cerita warga sekitar, selain buaya, banyak ditemui ular di rute alternatif tersebut. Yang lebih ekstreme lagi, ada rute yang satunya lagi. Di sana pohon dan dedaunan mangrove saling merangkul, dan menghalau cahaya matahari. Ular seukuran lengan biasanya berjatuhan dari ranting mangrove.

Mendengar penuturan Umi, yang hanya bisa dipahami kami bertiga, bulu kuduk saya merinding.

Setelah berhasil melewati jalan alternatif itu, kami harus memasuki lautan lagi. Kali ini, ombak nyaris membalikkan perahu kami. Beruntung pria pembawa perahu, tampaknya sudah berpengalaman. Kami sekali lagi melewati jalan alternatif, yang kondisinya hampir sama dengan jalan sebelumnya.

Perjalanan kami itu sudah ditempuh selama dua jam. Seharusnya kami sudah sampai di Malenge jika tidak berkendala.

Lagi-lagi kami harus memasuki lautan dengan cuaca yang belum berubah. Turis Australia yang setiap kali melewati jalan alternatif merekam gambar dengan kamera GoPro miliknya, saat memasuki lautan kamera itu digenggamnya erat sambil menutup mata. Temannya, turis Malaysia yang sedari tadi mengenakan headset karena duduk berdekatan dengan mesin perahu, juga menutup mata sipitnya itu.

“Kita harus berhenti di Desa Katupat,” tunjuk Umi, ke arah sebuah pulau.

Umi menyarankan agar perahu menepi di desa tersebut, dan menunggu sampai cuaca lebih bersahabat untuk bisa melanjutkan perjalanan. Kebetulan ada kerabatnya di sana. Sebenarnya sebelum Desa Ketupat, kami masih akan melewati salah satu pemukiman Suku Bajo.

Sekitar belasan menit berlalu dengan kondisi terombang-ambing, desa Suku Bajo itu kami lewati. Anehnya di desa ini, ombak dan angin kencang tak ada lagi. Ibu-ibu pembawa sampan lalu-lalang.

Setelah melewati desa itu, kami menemui Desa Ketupat. Di desa ini, hujan mulai turun deras.

“Kalau hujan deras begini, angin dan ombak pasti jadi agak lebih tenang,” kata pembawa perahu. Dan ternyata benar, ombak dan angin kencang mereda.

Setelah melewati desa itu, dan kembali memasuki lautan, langit telah cerah dan berawan. Kami lebih banyak tersenyum. Sesekali kami bercanda tentang suasana mencekam yang baru saja terlewati.

Sudah hampir empat jam lebih kami di atas perahu. Kemudian dari kejauhan telah tampak sebuah pulau besar membiru.

“Itu Pulau Malenge,” tunjuk Wawan.

Pulau Malenge ini, termasuk salah satu pulau di Kepulauan Togean. Dari data yang kami–Aliansi Jurnalis Independen Kota Gorontalo–kumpulkan selama penyusunan proposal program, yang didanai Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), dengan dukungan The Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), untuk kampanye penyadartahuan di Pulau Malenge, Kepulauan Togean yang menghampar sepanjang 90 kilometer terdiri 6 pulau besar dan 60 kecil di sekitar Teluk Tomini.

Di antara pulau-pulau besar yang berada di Kepulauan Togean, di antaranya Pulau Batudaka, Togean, Waleakodi, Unauna, Waleabahi, dan Talatakoh. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, setelah dinyatakan lolos proposal, sejak Maret 2017, tim lapangan mulai melakukan survei pertama kali di Pulau Malenge, yakni di Desa Malenge dan Kadoda.

Setelah itu, bulan berikutnya pada April, tim program memulai kampanye diawali penempelan poster berisi konten pelestarian lingkungan, baik laut dan hutan, di beberapa titik strategis masing-masing desa. Seperti di kantor desa dan kecamatan, sekolah, pelabuhan, dan jalan utama.

Selain menempel poster, diskusi juga dilakukan di rumah warga, dan dibagikan newsletter berisi ajakan untuk melestarikan keanekaragam hayati di Pulau Malenge.

Pulau Malenge memiliki beberapa jenis binatang, seperti rusa, kuskus, tarsius, ketam kenari (Birgus latro), dan lain sebagainya. Sementara untuk fauna endemik Pulau Togean, bisa ditemui biawak togean (Varanus salvator togeanus), monyet togean (Macaca togeanus), dan babirusa togean (Babyrousa togeanensis). Selain itu, ada sekitar 90 jenis burung yang dilindungi dan berkembang biak di rimbunan hutan pulau ini. Di hutan bisa ditemui pula jenis burung khas Togean seperti burung kacamata togean dan burung hantu togean.

Selain kekayaan hutan, Kepulauan Togean memiliki Danau Mariona. Danau unik ini berisis ubur-ubur atau jelly fish yang tidak menyengat. Jika dilihat dari ketinggian, lokasi danau hampir mirip dengan objek wisata Raja Ampat. Ada beberapa pulau kecil yang berserakan di sekitar danau. Di Pulau Malenge juga ada gua kelelawar yang menjadi salah satu tempat kunjungan turis. Sementara di Desa Bangkagi, turis bisa dimanjakan dengan taman anggrek.

Tak hanya itu, kepulauan ini kaya akan terumbu karang dan biota laut yang termasuk langka dan dilindungi. Kepulauan Togean menjadi bagian ekosistem terumbu karang penting dari coral triangle yang meliputi wilayah Indonesia. Ada empat tipe terumbu karang di Kepulauan Togean, di antaranya karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), karang tompok (patch reef), dan karang cincin (atoll).

Tak jauh dari Desa Lebiti, ada bangkai pesawat atau Plane Wreck jenis B24 Liberator dari masa Perang Dunia II, yang diperkirakan mendarat pada 3 Mei 1945. Tak seperti kebanyakan bangkai pesawat, Plane Wreck di Togean masih terbilang utuh, sebab diduga hanya melakukan pendaratan darurat, bukan jatuh. Di sekitar bangkai pesawat juga terdapat terumbu karang yang indah.

Namun sangat disayangkan, kekayaan terumbu karang di Togean, terancam akibat pemboman ikan dan penggunaan racun. Masyarakat yang tinggal di Kepulauan Togean yang terdiri dari Suku Togean, Bajo, Bobongko, dan Saluan, dikenal hampir semua berprofesi sebagai nelayan. Suku Bajo sendiri banyak bermukim di Pulau Papan, Milok, Talakoh, Siatu, Taupan, Enam, dan Salaka. Sementara Suku Saluan tersebar di Pulau Walea, dan Suku Bobongko di Desa Lembanato. Selain suku-suku itu, Suku Gorontalo dan Bugis juga telah banyak yang berdiaspora dan tersebar di Kepulauan Togean.

Masyarakat Suku Bajo yang dikenal memiliki pemukiman di atas laut ini, seiring waktu direkati stigma perusak ekosistem laut karena penggunaan bom ikan secara masif. Kendati sebenarnya banyak pula ditemui sebagian Suku Bajo yang turut andil dalam pelestarian ekosistem laut, seperti Suku Bajo di Desa Torosiaje, Provinsi Gorontalo, yang sekarang ini dikenal dengan pelestarian hutan mangrove di sekitar tempat mereka tinggal.

Setelah hampir 30 menit berjalan, akhirnya kami sampai di Pulau Malenge. Kami disambut selengkung pelangi di atas pulau yang berseberangan dengan Pulau Malenge.

Kedua turis itu, rencananya akan menginap di resort di Pantai Malenge. Salah satu pantai dari beberapa pantai berpasir putih yang mengitari pulau tersebut.

Melihat bibir Pelabuhan Malenge, hati saya lega seketika. Perahu yang kami tumpangi bersandar di depan rumah pemilik resort Pantai Malenge. Dari sana, kami akan diantar dengan perahu milik resort.

Kami bertiga akan menuju Pulau Papan di Desa Kadoda. Dalam perjalanan kami akan melewati Pantai Malenge. Tapi kedua turis dan guide itu, akan diantar setelah kami.

Akhirnya, teriakan seorang bocah dari salah satu rumah di Pulau Papan kepada Wawan, seakan memupus perjalanan panjang nan melelahkan itu.

Bocah berusia sekitar tiga tahun itu bernama Ipong. Ia menyambut Wawan yang sudah akrab dengannya. Rumah yang kami singgahi dan tinggali, milik Kepala Desa Kadoda, pamannya Ipong.

Setelah berpindah pijakan dari perahu ke rumah, kami lantas berpamitan kepada teman seperjalanan kami.

“Have a nice trip,” ucap turis Australia.

Kami mengucapkan kalimat yang sama, berterima kasih, lalu melambaikan tangan, yang disambut pula dengan lambaian tangan oleh keduanya.

Pulau Papan Nan Menawan

Di pondok rumah yang dibangun di atas permukaan laut itu, kami menikmati suguhan kopi dan pisang goreng. Resort Lestari dengan pantai berpasir putih di seberang, memupus tatap. Menjelang sore hari setelah berbincang dengan tuan rumah, kami diajak ke kamar yang telah disediakan. Kami melepas lelah perjalanan dengan dengkur.

Semalaman kami tidur nyenyak. Sesudah azan Subuh, Kamis 18 Mei 2017, saya dan Pepen terjaga lalu menuju dapur. Mama Isran–tuan rumah yang kami tinggali–, sedang membungkus nasi kuning dengan dedaunan pisang di dapur.

“Berapa satu bungkus, Mak?” tanya saya.

Mama Isran mengatakan per bungkus ia hargai Rp2 ribu saja. Sebab nasi kuning yang ia jual, biasa dibeli untuk bekal anak-anak pergi ke sekolah.

Setelah melahap dua bungkus, saya dan Pepen membawa tenda mungil menuju puncak Pulau Papan. Langit saat itu bergradasi dari hitam menjadi abu-abu, menuju terang. Pulau Papan ini kira-kira hanya seluas lapangan sepak bola, dan puncaknya merupakan salah satu tempat andalan bagi para turis.

Dari rumah yang kami tinggali, hanya sejauh tendangan bola plastik saja, kami sudah sampai di anak tangga alami dari bebatuan. Sekitar dua puluh dakian, kami sudah berada di atas puncak yang hanya ditumbuhi dua sampai tiga pohon itu.

Pepen segera mendirikan tenda, lalu kami menunggu sunrise. Di bawah, tampak beberapa rumah lampunya masih menyala. Biasanya yang listriknya bisa bertahan sepagi itu, mereka yang memiliki genset sendiri. Sebab di Pulau Papan, satu dusun tersebut hanya berharap dari mesin pembangkit listrik bertenaga solar, yang pembelian solarnya atas swadaya warga.

Listrik hanya bisa dinikmati menjelang Magrib sampai pukul 10 malam. Sama seperti dua dusun lainnya di pesisir pantai, yakni Dusun Kadoda dan Balantak. Satu-satunya tempat yang setiap malam hingga pagi hari bermandikan cahaya lampu, ialah Resort Lestari di seberang pulau.

Beberapa menit kemudian, matahari naik perlahan dari punggung siluet sebuah pulau. Jembatan kayu yang menghubungkan Pulau Papan dengan pulau seberang, terlihat seperti segaris urat di lautan. Panjang jembatan itu hampir sekilo. Pulau ini surga.

Siangnya, kami gunakan waktu untuk membagikan newlsetter di dua lokasi di Dusun Kadoda dan Balantak yang berada di pesisir. Kami harus melewati jembatan panjang yang jadi sarana lalu lintas warga dan anak-anak sekolah dari Pulau Papan.

Pusat pemerintahan Desa Kadoda berada di Dusun Kadoda. Karena itu, bangunan sekolah dan kantor desa, didirikan di sana. Kedua dusun itu memiliki pantai pasir putih yang airnya begitu jernih. Pohon kelapa rata-rata setinggi atap rumah berjejer sepanjang pantai.

Setelah menemui masing-masing kepala dusun, dan juga membagikan newsletter di sekolah dan kantor desa, kami kembali ke Pulau Papan, untuk menyiapkan alat pemutaran film dokumenter.

Dalam perjalanan kembali ke Pulau Papan, kami bertemu Lin, traveller perempuan asal Tiongkok, yang memilih tinggal di salah satu rumah warga di Dusun Kadoda. Kami mengajak ia untuk menonton film dokumenter di Pulau Papan, nanti malam. Ia mengiyakan.

Sore itu, sesampainya di rumah Mama Isran, tampak beberapa ibu-ibu, remaja, dan anak-anak berkumpul. Mereka mengajak kami menuju pantai di Resort Lestari. Di sana setiap sorenya, warga Desa Malenge dam Kadoda biasanya bertarung main sepak takraw, bola voli pantai, dan tenis meja.

Sebelum pantai itu dibangun resort, dulunya lokasi itu menjadi tempat warga bermain bola. Tapi setelah disewakan, akses ke pantai sudah dibatasi. Baru belakangan, pemilik resort mulai mengajak warga sekitar untuk meramaikan resortnya.

“Pengunjung resort juga nanti jalan-jalan ke Pulau Papan. Kalau kami tidak diizinkan ke pantai, warga juga bisa menolak pengunjung resort jalan-jalan ke sini. Karena itu pemiliknya akhirnya melunak,” kata Papa Dede.

Sampan kayu telah disiapkan untuk kami bertiga menyeberang ke resort. Dan kami akan diseberangkan anak-anak yang rata-rata baru berusia 7-8 tahun.

Selama perjalanan yang singkat itu, sebab jarak dari Pulau Papan ke resort hanya sekitar 50an meter, saya merasa was-was. Berbanding terbalik dengan tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki yang bertugas mengayuh sampan.

Mereka tertawa melihat tingkah kami yang ketakutan, dan sesekali menggoda dengan menggoyang-goyangkan sampan. Pepen terlihat santai, kendati ia pernah mengalami kejadian perahu terbalik sewaktu di Pulau Saronde, Gorontalo. Sementara saya dan Wawan, terus menegur tingkah bocah-bocah itu, tentunya dengan tawa yang tiada hentinya.

Akhirnya bibir pantai sudah di depan mata. Saya segera meloncat setelah mengira-ngira tinggi air, hanya seukuran lutut orang dewasa.

Anak-anak dari sampan lain juga telah bersandar. Ibu-ibu dan remaja yang juga telah sampai, segera mengatur tim untuk bermain bola voli dan sepak takraw. Remaja laki-laki lainnya memilih tenis meja. Sementara anak-anak memilih bermain pasir di pantai, ayunan, dan sepak bola plastik. Saya, memilih mengelilingi pantai dan lokasi resort.

Di dermaga kecil tempat kapal atau perahu bersandar, ada pondok berayunan jaring. Di pesisir pantai, tepat di bawah pohon kelapa tak berbuah, ada beberapa meja dan kursi-kursi dari batang kelapa, yang tersebar sepanjang pantai berpasir putih. Panjang pantai kira-kira hanya seratus meter lebih.

Saya berjalan menyusuri sekitar tujuh sampai delapan cotage berbahan kayu, yang berjejer tepat di kaki bukit pulau, hingga tiba di bagian belakang resort. Ada bangunan serupa kafe dengan meja prasmanan membentang. Tepat di sampingnya, dua buah speedboat terparkir.

Ternyata di belakang resort, ada pemandangan indah lainnya. Ada sebuah teluk kecil, dengan air laut yang begitu bening. Saking beningnya; rerumputan, keong, dan bintang laut di dasar tampak jelas.

Di samping kiri resort, ada bukit kecil yang jika didaki, hanya butuh belasan langkah saja. Kami bertiga menaiki bukit tersebut. Di atas, pemandangan tak kalah menariknya. Beberapa pohon digantungi ayunan. Dari ayunan, mata kita dimanjakan hutan di seberang pulau, nyanyian burung, hembusan angin, dan beningnya air laut yang direnangi beberapa orang turis.

Setelah puas, kami bertiga kembali turun dan bergabung dengan warga yang tengah asyik, dengan masing-masing olahraga pantai. Turis-turis asing tampak senang menonton permainan mereka. Saya lantas memilih mandi bersama belasan bocah.

Beberapa bocah saat saya tanyai, mengaku pernah mendapati perlakuan yang kurang baik dari turis-turis lokal. Saat mereka berada di jembatan panjang, yang tepiannya juga menjadi tempat snorkeling, ada sekelompok turis lokal yang melemparkan koin ke laut, lalu menyuruh anak-anak melompat dan berlomba-lomba memunguti koin.

Hal itu membahayakan, sebab air laut di tepian jembatan hanya berkisar setinggi satu meter, dengan dasar laut terdiri dari karang. Anak-anak yang mengaku diperlakukan seperti itu, kerap disusul oleh masing-masing orangtua mereka.

“Mama bilang ke mereka (turis lokal) kalau mau kasih uang, kasih langsung saja. Tidak usah dilempar-lempar ke laut,” cerita seorang bocah menirukan perkataan ibunya.

Sore itu, dari pantai, Pulau Papan dan jembatan panjang terlihat indah. Sebelum langit gelap, kami memilih pulang. Saat perjalanan pulang, masih dengan bocah-bocah lucu nan iseng itu, kami mendapati satu sampan yang ditumpangi tujuh orang anak-anak terbalik. Kedalaman air laut di sekitar situ, hingga delapan meter. Dan bocah-bocah yang berserakan di tepian sampan terbalik itu, hanya menertawakan kejadian yang menimpa mereka, sembari sibuk membalikkan sampan, lalu menguras air.

“Awas! Ada buaya!” teriak seorang remaja dari sampan lain, yang melewati anak-anak itu.

Hingga kami sampai di rumah, anak-anak yang sampannya terbalik itu tinggal tersisa dua orang saja. Lainnya memilih berenang. Tak lama kemudian sampan telah siap dikayuh. Kedua bocah itu tertawa keras.

Saya, dari pondok, ikut tertawa melihat kejadian itu. Ah, betapa anak-anak itu begitu menikmati hidup.

Bertukar Kisah dengan Orang Pesisir

Sebelum azan Magrib berkumandang di surau, kami mulai sibuk menyetel proyektor dan layar. Program kami di Pulau Malenge terdiri dari dua desa dampingan, masing-masing Desa Malenge yang kami singgahi pertama kali tiba di Pulau Malenge, dan Desa Kadoda yang salah satu dusunnya ialah Pulau Papan yang kami tinggali saat ini.

Kampanye penyadartahuan kami, selain menyasar masyarakat yang kerap berburu hewan endemik seperti babirusa togean dan monyet togean, juga untuk mengajak masyarakat pesisir agar terlibat dalam melestarikan ekosistem laut.

Di Desa Kadoda, yang berpenduduk sekitar 900 jiwa, masyarakatnya selain berprofesi sebagai nelayan, juga mereka membuka lahan pertanian di Pulau Malenge dan pulau-pulau sekitar.

Desa Kadoda untuk dua dusun di pesisir, yakni Kadoda dan Balantak dikenal sebagai nelayan tradisional, juga petani. Mereka lebih arif ketika menjadi nelayan, dengan hanya menggunakan pancing khusus untuk ikan demersal. Namun ketika menjadi petani, tak sedikit dari mereka yang memburu monyet togean karena dianggap hama. Sesekali jerat yang dipasang mereka untuk babi hutan, juga berhasil menjerat babirusa togean. Karena mayoritas muslim, otomatis mereka tidak memakan atau menjual buruan mereka, tapi membunuh lalu menguburkan bangkai hewan-hewan tersebut.

Sementara warga di Pulau Papan yang berprofesi sama–nelayan dan petani–, ada beberapa yang sering menggunakan bom ikan dan racun. Namun beberapa dari mereka mengaku pensiun sebab pernah mengalami kejadian tragis.

“Di salah satu rumah warga ada bom ikan meledak,” cerita Papa Dede, pria berkeluarga yang kerap mendampingi kami di Pulau Papan.

Di Kepulauan Togean sendiri ada Desa Kabalutan namanya, yang dikenal kerap membom ikan di laut. Bahkan jika kita berkunjung ke desa tersebut, ada beberapa warga yang kaki dan tangan mereka buntung, akibat bom ikan.

Ada beberapa kisah lain yang mampu memeras airmata ketika mendengarnya. Entah kejadian ini nyata, namun bola mata penuturnya berkaca-kaca, ketika menceritakannya kepada kami.

Ceritanya, suatu malam seorang nelayan ditemani istrinya, pergi meracun ikan. Keduanya berhasil diciduk petugas patroli setempat. Ada sebuah cairan di dalam botol yang digunakan untuk meracun ikan. Ketika ditanyai petugas, nelayan itu berusaha mengelabui petugas dengan mengatakan botol itu berisi air minum.

Petugas coba memastikan dengan menantang nelayan itu untuk meminumnya, jika benar botol itu berisi air. Pria itu–mungkin demi menghidari bui–meminum isi botol. Karena nelayan itu meminumnya, petugas lantas melepaskan pasutri itu.

Beberapa hari kemudian, pria itu dikabarkan sering muntah darah. Tak berselang lama ia meninggal.

Saya, ketika mendengar cerita itu, berada pada posisi dilematis. Nelayan itu hendak meracun ikan, yang tentunya melawan hukum, sebab selain membunuh anak-anak ikan, juga merusak terumbu karang yang menjadi rumah dan tempat bertelur ikan-ikan. Namun di lain sisi, nelayan itu terpaksa harus meregang nyawa, akibat meminum racun tersebut, dan meninggalkan anak-istrinya.

Selesai azan Isa, kami mulai menyetel alat. Sebuah layar dari baliho bekas kegiatan di desa, dibentang di dinding rumah papan Mama Isran, yang juga rumah Kepala Desa Kadoda itu. Layar tepat menghadap laut dan Resort Lestari.

Awalnya kami mengalami kendala, sebab pembangkit listik milik dusun, tidak mampu ketika proyektor dicolok. Beruntung ada genset yang sukarela dipinjamkan warga.

Malam itu, satu per satu orang mulai berkumpul. Puluhan orang berjejer di bangku panjang pondok, sementara lainnya memilih melantai. Selain orang dewasa, anak-anak ikut meramaikan pemutaran film. Tapi hingga film diputar, traveller asal Tiongkok, Lin, tak kunjung datang. Mungkin karena jarak tempuh dari dusunnya menuju Pulau Papan harus melewati jembatan. Apalagi pemutaran film pada malam hari. Jadwal pemutaran sengaja kami pilih malam, sebab siang hari warga beraktivitas.

Malam itu ada dua film dokumenter bertema lingkungan yang diputar. Film pertama berjudul Healthy Ocean for Life (https://www.youtube.com/watch?v=u8XmR8npxn8), produksi USAID-IMACS Indonesia yang diedit dan disutradarai Nanang Sujana.

Film itu bercerita soal keanekaragaman hayati bawah laut yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Selain potensi kekayaan alam yang ada di daerah itu, film ini juga menceritakan tentang pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang, mangrove, dan keterlibatan lembaga adat untuk menjaga ekosistem laut yang ada di wilayahnya.

(https://www.youtube.com/watch?v=N1jZhwwh8c0). Film ini bercerita tentang pelestarian dan pemanfaatan hutan yang ada di Desa Bangkagi, Kepulauan Togean. Dalam film ini, masyarakat ikut terlibat dalam menjaga kelestarian hutan, dengan membuat aturan-aturan adat terkait pelestarian. Film ini diproduski Nanang Sujana untuk Green Peace dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Tujuan menjaga kelestarian hutan di Bangkagi dalam film itu, agar sumber mata air bisa terjaga, dan bisa dimanfaatkan untuk banyak hal termasuk energi terbarukan. Film ini relevan dengan masyarakat yang ada di Pulau Malenge, sebab masyarakatnya juga memanfaatkan sumber mata air di pulau, sebagai penghidupan atau kebutuhan air bersih sehari-hari. Ada pipa-pipa air yang mengurat di dasar laut di antara masing-masing pulau.

Kami juga menyisipkan beberapa film dari Ekspedisi Indonesia Biru, produksi WatchdoC. Setelah pemutaran film, kami berdiskusi dengan warga. Saya menyampaikan sepatah dua kata, terkait film yang baru saja kami putar. Dilanjutkan dengan menanyakan apa saja kendala masyarakat di Pulau Papan, terkait menjaga keanekaragaman hayati di sekitar.

“Ah, kalau monyet itu hama! Mau pilih mana, mereka yang punah atau kami?” kata seorang bapak berjaket kuning, dengan nada tinggi. Belakangan diketahui bapak itulah yang meminjamkan genset untuk pemutaran film.

Di saat-saat seperti itu, rasanya kami diperhadapkan dengan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan kehidupan kami di perkotaan. Saya berusaha memberi penjelasan sesederhana mungkin, bahwa monyet togean dan babirusa togean, selain dilindungi dan bisa dikenakan sanksi hukuman pidana bagi pemburu atau pembunuhnya, juga memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem di pulau.

Punahnya satu jenis satwa, tentunya akan meningkatkan populasi binatang lain. Apalagi satwa yang punah tersebut jenis predator. Hal itu mengakibatkan rusaknya keseimbangan alam.

Sama seperti yang terjadi ketika medio 1958, di Tiongkok. Mao Zedong sebagai Pemimpin RRT (Republik Rakyat Tiongkok) memerintahkan pemusnahan burung gereja, yang diyakininya banyak memakan biji-bijian, terutama bulir padi.

Dalam kampanye yang disebut The Four Pests Campaign atau kampanye Empat Hama, yang merupakan bagian dari Lompatan Besar Ke Depan (Great Leap Forward) antara 1958 – 1962, semua rakyat diminta memusnahkan burung gereja jenis Eurasian Tree Sparrow.

Salah satu cara yang digunakan, dengan memukul drum dan gendang sekeras-kerasnya, untuk menakut-nakuti burung. Cara tersebut efektif sebab membuat burung-burung itu terus terbang hingga mati kelelahan. Selain itu semua sarang-sarang burung ikut dihancurkan, dan masyarakat dilatih menembak burung.

Alhasil, setelah burung-burung itu hampir punah, tahun berikutnya, masalah serius muncul. Populasi serangga yang biasa menjadi makanan burung-burung tersebut meningkat. Persebaran serangga tak terkendali akibat tidak adanya lagi hewan predator. Serangga merusak tanaman padi dan mengakibatkan rakyat kelaparan. Akhirnya, perintah membunuh burung gereja itu ditarik.

Di Pulau Malenge sendiri, sebenarnya ada salah satu solusi yang mungkin bisa mengurangi pembunuhan monyet togean dan babirusa togean, yang dianggap merusak pertanian warga. Misal, menanam pohon salak mengelilingi areal kebun, guna mencegah monyet dan babi masuk.

Sebab sebenarnya, monyet dan babi yang merusak pertanian milik warga, diakibatkan ulah manusia juga. Warga di Pulau Malenge yang membuka lahan di hutan pulau, membuat wilayah mencari makanan hewan-hewan tersebut semakin sempit. Otomatis, lahan-lahan pertanian warga dimasuki sebab tidak ada lagi makanan mereka di hutan, yang pepohonannya juga sudah ditebang.

Selain mendiskusikan persoalan hutan, warga juga mempertanyakan sikap pemerintah khususnya dari Balai TNKT, yang dari penetapan wilayah taman nasional, mengakibatkan batas-batas wilayah tangkapan ikan mereka berkurang.

Menurut warga, Balai TNKT harus terjun langsung mendiskusikan hal tersebut dengan warga. Sebab sejak penetapan TNKT 2004 lalu, hal tersebut mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan belasan desa di sekitar Kepulauan Togean.

Sebagian warga juga menyesali sikap pemerintah, yang kerap mengabaikan permasalahan sampah di daerah pesisir seperti di Pulau Papan. Rata-rata rumah warga yang berada di atas laut, menyebabkan sebagian warga terpaksa membuang sampah ke laut, sebab tidak adanya fasilitas yang disediakan pemerintah.

Menurut warga, Kepulauan Togean yang menjadi destinasi pariwisata dan ikut meningkatkan pendapatan daerah, harusnya dinas terkait, misal, Dinas Lingkungan Hidup atau Dinas Pariwisata, Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulteng, bisa memfasilitasi apa saja yang menunjang di setiap titik lokasi pariwisata. Khususnya tong sampah untuk warga atau Suku Bajo yang rumahnya di atas laut.

Diskusi malam itu ditutup dengan pemutaran film hiburan, yang diminta oleh warga sendiri. Namun, sepertinya warga lebih tertarik dengan dua film dokumenter yang kami sajikan, dibanding film hiburan yang kami putar. Satu per satu warga memilih pulang, sebab laut menunggu mereka esok hari.

*

Besoknya, Jumat 19 Mei 2017, kami harus menyiapkan alat-alat untuk pemutaran film di Dusun Kadoda. Warga di sana meminta kami, sebab lokasi pemutaran di Pulau Papan menurut mereka selain pada malam hari, juga mereka harus melewati jembatan panjang. Mereka mengaku tidak bisa meninggalkan rumah, apalagi anak-anak.

Malamnya pemutaran film di Dusun Kadoda dihadiri Lin. Beruntungnya, film yang kami putar berisi teks terjemahan bahasa Inggris, jadi Lin paham dengan maksud film.

Diskusi sesudah pemutaran film, hampir sama dengan diskusi malam sebelumnya di Pulau Papan. Masyarakat di Dusun Kadoda juga menceritakan beberapa pengalaman mereka.

Salah satu warga mengaku, memiliki kerabat yang bekerja di salah satu resort di Pulau Malenge. Ia pernah diajak ke resort itu. Di resort tepat di samping dapur, dibangun kurungan berterali besi untuk menjebak monyet. Tak sedikit monyet togean yang berhasil dijebak masuk, dengan taburan buah pisang di dalam perangkap.

Ia pernah sangat sedih, karena saat monyet-monyet itu dibantai, ada seekor monyet betina sambil memeluk satu bayinya seolah-olah memohon untuk tidak dibunuh. Tapi pemilik resort tanpa ampun menyuruh pekerja menusukkan lembing, ke perut monyet tersebut. Setelah monyet betina tewas, bayinya tampak mendekati ibunya lalu menyusu. Kemudian disusul hujaman lembing di punggung bayi monyet.

Bapak yang menceritakan kisah itu kepada saya, mengaku setelah melihat kejadian itu, ia memilih untuk tidak terlibat lagi ketika ada warga yang ingin memasang jerat atau perangkap, dan membunuh monyet-monyet itu.

Namun menurut pengakuannya, sekarang perangkap kurungan di resort tidak digunakan lagi. Hal tersebut berlaku setelah ada dua turis asing yang menyarankan untuk tidak memakai perangkap lagi. Disusul sedikit pencerahan, bahwa turis yang berkunjung ke resort selain ingin menikmati pantai dan pesona bawah laut, mereka juga ingin trekking ke hutan melihat satwa-satwa yang dilindungi itu.

Di saat itulah, saya teringat sajak Wiji Thukul yang tertulis di kaus saya: ini tanah airmu, di sini kita bukan turis. Turis asing terkadang lebih arif ketimbang kita, si pemilik negeri ini. Apalagi persoalan sampah. Selama di Togean, saya banyak mendapati bule yang memilih makan pisang lalu membuang kulitnya di laut. Sementara turis-turis lokal, kebanyakan makan kudapan berbungkus plastik, lalu melempar bungkusan seenaknya ke laut.

Diskusi selesai sekitar pukul 10 malam. Warga sekitar yang memilih bertahan menonton film hiburan, hanya lima sampai enam orang saja. Setelah itu, di tengah malam yang hening, kami membelah laut menuju Pulau Papan, dengan perahu mesin yang dikendarai Papa Dede. Besok pagi, kami harus berpindah tempat ke Desa Malenge.

Pulau Malenge dan Keceriaan Anak-Anak

Setelah makan siang, kami pamit kepada Mama Isran dan Papa Isran, dan anggota keluarga lainnya. Juga kepada si kecil Ipong.

Siang itu, Sabtu 20 Mei 2017, kami meninggalkan Pulau Papan, diantar Papa Dede. Kami menuju Desa Malenge dengan perahu mesinnya. Hanya sekitar puluhan menit, kami sudah sampai di bibir rumah Mama Awan. Ia kerabatnya Papa Dede. Rumahnya menjadi tempat persinggahan kami selama di Desa Malenge.

Mama Awan dan suaminya yang akrab disapa Papa Kede, menyambut dengan suguhan kopi. Setelah berbincang lama, Papa Dede akhirnya pamit kepada kami. Semua barang bawaan kami diminta Mama Awan untuk dibawa ke kamar depan.

Tak berselang lama, kami melanjutkan tugas dengan menyurvei lokasi pemutaran film. Desa Malenge yang berpenduduk hampir sama dengan Desa Kadoda, sekitar 900an jiwa, tak memiliki pantai berpasir putih. Tapi di desa ini, hampir semua warga menikmati listrik sehari penuh. Rata-rata setiap rumah memiliki panel surya di atap.

Desa Malenge memiliki pelabuhan kecil. Desa ini memunggungi langsung lebat hutan Pulau Malenge. Pulau yang dijuluki Pulau Monyet, dan pulau yang kerap ditemukan ular berbagai jenis.

Setelah belasan menit mengitari desa, akhirnya kami memilih lokasi pemutaran film di pelabuhan. Kami juga berhasil mendapatkan genset, dari seorang aparat desa.

Sorenya, kami menikmati suasana pelabuhan. Belasan anak-anak, tampak bermain di pelabuhan. Ada yang memancing, mandi sambil meloncat girang, menangkapi ikan-ikan yang tampak jelas karena air laut begitu jernih, juga menangkapi bulu babi atau landak laut.

Berpuluh-puluh kali anak-anak itu meloncat dari tepi pelabuhan, naik lagi, meloncat lagi, tapi tak tampak mereka lelah. Sesekali anak-anak itu salto sambil berteriak. Kedalaman air di sekitar pelabuhan sekitar enam meter. Tapi itu tak membuat mereka takut. Dasar anak-anak pulau.


Keceriaan anak-anak Pelabuhan Malenge – Foto: Sigidad
Seorang anak mendekati saya lalu menunjukkan ikan hasil tangkapannya, yang terlihat unik. Ikan seukuran sabun batang itu, berkulit tebal dan berwarna abu-abu dengar garis-garis kuning kemerahan. Siripnya tajam di kiri kanan, dan di punggungnya ada serupa tanduk. Mulutnya monyong.

“Ini bisa dimakan, nanti dikupas kulit tebalnya. Rasanya seperti daging ayam,” kata anak itu.

Ia juga memunguti landak laut tanpa takut terkena bisa. Ia memainkan landak laut itu di atas telapak tangannya dengan hati-hati. Bulu-bulunya yang meruncing, sesekali ia jepit dengan jemari lalu memainkannya seperti bandul. Menurutnya, landak laut juga bisa dimakan.

Sore itu, pelangi tampak melengkung di pulau seberang. Nelayan-nelayan satu per satu merapat ke pelabuhan dan rumah masing-masing, yang berdiri di atas laut. Orang-orang tua menjemput anak-anak mereka, lalu malam pun tiba.

Pemutaran film dokumenter kali ini berjalan lancar. Masyarakat pun terlihat antusias. Dibandingkan saat pemutaran di dua dusun di Desa Kadoda, di Desa Malenge warga yang hadir lebih banyak lagi. Diskusi sesudah film diputar pun berjalan alot dengan masalah yang hampir sama.

Menurut warga Desa Malenge, mereka pun sebenarnya sudah jarang menangkap ikan dengan bom. Sebab di pelabuhan, biasanya pembeli lebih memilih ikan yang bukan dari hasil bom atau racun.

Selain itu, untuk masalah monyet dan babi yang dianggap hama, warga juga mengaku serba salah. Namun mereka menyadari, membunuh satwa-satwa dilindungi bisa dijerat hukum.

Pemutaran film juga dihadiri seorang traveller asal Itali. Namanya Paul. Ia memilih mendirikan tenda di pelabuhan, menunggu kapal publik dini hari. Saat menonton ia mengaku senang dengan isi film.

Sesudah diskusi dan pemutaran film hiburan, Mama Awan dan Papa Kede, bersama anak mereka Awan yang masih sekolah dasar, mengajak kami untuk makan malam.

“Makan dulu, nanti balik lagi,” kata Mama Awan.

Mereka menemani kami bertiga saat menuju rumah. Setelah makan, kami ditemani lagi kembali ke pelabuhan, untuk memastikan apakah film hiburan telah selesai. Warga yang tersisa tinggal enam sampai tujuh orang, sampai film selesai. Paul juga telah tidur di tenda.

Setelah dibantu beberapa warga mengemas alat-alat, kami pamit dan menuju ke rumah Mama Awan lagi. Saya memilih tidak tidur malam itu. Saya menghabiskan sisa malam duduk berbincang dengan Papa Kede.

Hingga pagi menjelang, Minggu 21 Mei 2017, Pepen dan Wawan saya bangunkan untuk segera berkemas. Kami harus menuju pelabuhan, untuk menunggu kapal publik yang akan menuju Wakai.

Setelah pamit kepada Mama Awan dan Papa Kede, kami menuju pelabuhan dengan nafas lega. Akhirnya semua tugas telah ditunaikan. Tapi perjalanan pulang masih panjang. Sesampainya di Pelabuhan Wakai nanti, kami harus menuju Pelabuhan Ampana. Sebab kapal feri menuju Gorontalo tidak beroperasi karena diservis atau perawatan.

Dari Ampana, kami harus melanjutkan perjalanan darat selama lima jam menuju Luwuk. Pelabuhan Pagimana akan kami lewati, sebab kami masih menunggu jadwal kapal feri yang akan berangkat dari Pelabuhan Pagimana menuju Gorontalo, Senin 22 Mei 2017.

Kota Luwuk akan menjadi persinggahan kami selama semalam. Dan selama perjalanan dari Ampana menuju Luwuk, teman-teman saya kembali disibukkan ponsel pintar mereka masing-masing. Sementara saya, terlalu asyik memotret setiap tempat yang dilewati. Apalagi, ponsel saya mati total sejak berada di Pulau Papan. Tapi harga ponsel itu tak sebanding dengan sebongkah ‘berlian’ yang saya temukan di Kepulauan Togean.

Kepulauan Togean, adalah ‘berlian’ itu sendiri. Keindahan ‘berlian’ di Teluk Tomini yang semoga saja bertahan dari keserakahan manusia. (*)

Friday, March 2, 2018

Puisi untuk Braga

No comments

Dua puisi ini hasil interpretasi lagu-lagu Beranda Rumah Mangga (Braga). Salah satu grup band di Kotamobagu.

Puisi interpretasi lagu "Di Kedai Ini":

JANJI

Menunggu, satu kata yang terlalu karib dengan cinta. Seperti malam ini, mataku tersimpul di ujung jalan. Menit demi menit, tapi semua paras yang hadir tampak asing. Selain dirimu, yang lain hanyalah kosong.

Aku menunggumu, di kedai dengan secangkir kopi yang kusesap berjeda harap. Aku mengadu kepada bulan pucat di langit. "Apakah seperti ini rindu serigala kepadamu?"

Langit malam berganti-ganti rupa. Bintang gemintang jatuh satu demi satu. Tapi tak ada satu pun yang menyebut namamu. Aku mulai ragu, kau memang tak akan pernah datang.

Aku berpikir harus mengirim pesan kepadamu, 'tuk bertanya kesekian kali. Tapi aku malu kepada lampu-lampu yang sedari tadi tersipu-sipu. Apalagi, janji tak perlu dikutuk berkali-kali. Cukup sekali.

Kereta api, 2017

Puisi interpretasi lagu "Patah Menjadi Air Mata".

RESI

Seorang resi dengan mata diitari alit gulita, bersila di atas embun. Matanya tak pernah terbuka lagi, tapi ia mengenal seribu warna. Bermacam cuaca yang melukiskan warna-warni itu sedari masa kecilnya.

Matahari pernah membuat rambut saljunya kering seperti ranting. Patah hanya oleh desau angin. Membikin bulir air matanya mengalir dan mencipta telaga biru.

Layung pada setiap kali senja lingsir di punggungnya yang kerap getir. Tapi derita hidup per lahan mengubah raganya menjadi logam. Bertahan seperti garis-garis tangan dalam genggam.

Barangkali, seorang resi ditakdirkan sendiri. Agar bisa ruah berbagi. Pada tanah yang menumbuhkan rerumputan dan cendawan. Atau pada telinga-telinga yang mampu menangkap sunyi.

Kamar mandi, 2017